Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jejaring Sosial Pemicu Nomophobia

Sabtu, 01 November 2014 | 14:50 WIB Last Updated 2014-11-01T07:50:45Z


Oleh Gadis Kurnia Kusuma

Merasa panik jika tidak memegang telepon genggam dalam waktu tertentu? Lebih memilih ketinggalan dompet dari pada telepon selular? Lebih banyak menghabiskan waktu menatap layar handphone dibandingkan dengan menatap lawan bicara? Jika ya, maka hati-hati, Anda mungkin mengidap gejala nomophobia.
Bagi pengguna gadget, istilah nomophobia mungkin sudah tidak asing lagi. Ketakutan akan jauh dari telepon genggam yang merupakan kependekan dari no-mobile-phone phobia ini pertama kali teridentifikasi pada 2008. Seiring dengan kemajuan teknologi, fenomena nomophobia pun semakin sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda.

Contohnya Ardita Mustafa (26). Penulis di salah satu media cetak ini mengaku tidak bisa lepas dari telepon genggamnya. Perasaan panik dan tidak tenang akan menghinggapinya setiap kali dia tidak memegang gadget andalannya itu. Alasannya, telepon genggam adalah senjatanya untuk menghabiskan waktu dan tetap terkoneksi dengan dunia luar.

“Kalau handphone saya mati, saya akan meminta orang lain di sekitar saya untuk bertukar sim card hanya untuk sekadar mengecek email atau akun media sosial,” katanya.

Ardita mengaku saat ini memiliki sekitar enam akun jejaring sosial yang aktif, yakni Twitter, Path, Instagram, Tumblr, Linkedin, dan Foursquare. Dalam sehari, paling tidak dia biasa mengecek akun media sosialnya setiap 15 menit sekali. Dalam kurun waktu tersebut, dia menghabiskan sekitar 10 menit untuk memindai aktivitas jejaring sosialnya setiap kali login. Artinya, setiap 15 menit yang dihabiskan, Ardita hanya mengalokasikan lima menit diantaranya untuk benar-benar berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata.
Menurut dia, kecanduannya akan jejaring sosial ini lah yang membuatnya tidak bisa lepas dari telepon genggam walau hanya beberapa detik. Jika tidak mengecek akun media sosial nya lebih dari 20 menit, Ardita merasa gelisah karena takut melewatkan informasi atau sekadar aktivitas yang terjadi di dunia maya.

“Kadang tidur saya sampai tidak teratur, karena saya takut melewatkan berita atau sekadar peristiwa yang sedang terjadi di jejaring sosial,” jelasnya.

Fenomena nomophobia memang tidak bisa dilepaskan dari ledakan tren jejaring sosial yang kian menjamur dalam beberapa tahun terakhir. Kecanduan akan media sosial yang memicu sindrom FoMO (fear of missing out) ini lah yang akhirnya mendorong pengidap nomophobia terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pengguna jejaring sosial yang paling aktif di dunia. Menurut data lembaga PeerReach, Indonesia menempati peringkat ke 3 pengguna Twitter terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang pada 2014. PeerReach mencatat porsi pengguna Twitter di Indonesia tahun ini mencapai 6,5% dari seluruh pengguna Twitter di dunia dengan 2,4% dari total tweet di dunia disumbangkan oleh Jakarta.

Tak hanya Twitter, Indonesia juga tercatat sebagai negara asal pengguna Path terbanyak di dunia. Dalam wawancara dengan Bloomberg Businessweek Indonesia pada November 2013, pendiri sekaligus CEO Path Dave Morin mengatakan dari 20 juta pengguna aktif Path di dunia, sebanyak 4 juta pengguna atau 20% diantaranya merupakan anggota teraktif dari Indonesia.

Pengamat media sosial Abang Edwin Syarif Agustin menilai salah satu alasan banyaknya pengguna jejaring sosial adalah distribusi informasi yang lebih cepat dan lebih mudah. Jejaring sosial mengubah cara berkomunikasi antara media massa dengan penggunanya menjadi lebih efektif. Artinya, orang tidak perlu lagi harus membaca koran atau situs berita untuk mengetahui peristiwa yang sedang terjadi.

“Yang perlu diwaspadai dari jejaring sosial salah satunya adalah kontrol informasi, karena saking cepatnya informasi yang masuk terkadang pengguna langsung menyebarkan informasi itu tanpa mengecek dulu kebenarannya,” paparnya. “Padahal informasi yang kita dapat di jejaring sosial sudah tidak dapat lagi dijadikan acuan.” 

Terus meningkatnya pengguna jejaring sosial belakangan ini tak pelak lagi mendorong sindrom nomophobia kian banyak bermunculan. Dalam studi yang dilakukan oleh SecurEnvoy di Inggris pada 2012, disebutkan bahwa pengidap nomophobia meningkat secara signifikan sejak 2008. Dalam studi yang dilakukan terhadap 1.000 responden, sekitar dua pertiga diantaranya mengaku merasa takut jika kehilangan atau hidup tanpa telepon genggam.

Dalam riset itu juga disebutkan bahwa pengidap nomophobia terbanyak berada dalam kategori responden dengan rentang usia 18-24 tahun (77%) dan  disusul oleh responden berusia 25-34 tahun (68%).

“Dalam riset sebelumnya yang kami lakukan empat tahun lalu [2008], hanya ditemukan 55% responden yang mengaku takut hidup tanpa telepon genggam. Jumlah ini meningkat menjadi 66% dalam studi terbaru kami [2012],” terang CTO SecurEnvoy Andy Kemshall kala itu. “Dalam studi lainnya juga ditemukan bahwa secara rata-rata, setiap orang mengecek telepon genggamnya 34 kali dalam sehari.”

Ketergantungan akan telepon genggam tentunya memiliki dampak negatif dalam kehidupan sosial seseorang. Ardita mengatakan salah satu temannya sampai memiliki empat gadget dalam upayanya untuk terus terkoneksi dengan jejaring sosial. Saking nyamannya berada dalam komunitas virtual, sang teman kerap kesulitan dan merasa tidak percaya diri berinteraksi di dunia nyata.

Psikolog Anna Surti Ariani berpendapat pecandu jejaring sosial kerap memiliki penghayatan emosional yang kurang  dan akibatnya tidak mendapatkan kebahagiaan dalam hidup yang sebenarnya. Pecandu jejaring sosial yang juga mengidap nomophobia, lanjutnya juga sering kali menjadi tidak fokus dalam percakapan dan interaksi sosial yang sedang berlangsung di dunia nyata.

Salah satu indikasi seseorang mengidap nomophobia, katanya adalah mereka sering berhalusinasi akan adanya notifikasi jejaring sosial di telepon genggam. Akibatnya, mereka sering sekali menghabiskan waktu mengecek layar ponsel.

“Individu yang memiliki nomophobia dan kecanduan jejaring sosial akan sulit fokus dalam percakapan langsung, karena konsentrasinya terbagi antara mendengarkan lawan bicara dan mengecek akun pribadinya. Lama kelamaan dia akan terasing dari lingkungnnya sendiri,” jelasnya.

Menurut Anna, langkah awal untuk bisa bebas dari sindrom nomophobia dan kecanduan akan jejaring sosial harus dimulai dari kesadaran sang individu sendiri. Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan mematikan notifikasi jejaring sosial di telepon genggamnya. Dengan demikian, godaan untuk mengecek layar handphone setiap saat pun menjadi berkurang.

Di era digital seperti sekarang memang sulit membayangkan untuk hidup tanpa telepon genggam. Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin. Toh, berpuluh-puluh tahun yang lalu manusia masih bisa berkomunikasi tanpa gadget canggih dan Twitter. Bahkan mungkin kehidupan sosial mereka lebih sehat karena tidak terhalang oleh layar handphone setiap saat.


Jadi, siap mencoba sehari saja hidup tanpa ponsel?
×
Artikel Terbaru Update