Program Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan merupakan program pemerintah yang bertanggungjawab secara langsung
kepada Presiden. Program ini dilimpahkan kepada menteri yang menyelenggarakan
bidang sosial untuk membantu Presiden menyelenggarakanya program tersebut.
Menurut S.F. Marbun
yang dikutip dari Sadjijono dalam buku yang berjudul Bab-Bab Pokok Hukum
Administrasi menyatakan bahwa :
“Wewenang mengandung
arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan-hubungan hukum”[1].
Secara teori sumber
kewenangan pemerintah berasal dari 3 (tiga) hal yaitu : Atribusi, Delegasi dan
Mandat. Menurut Titik Triwulan Tutik mengatakan tentang pengertian sumber kewenangan tersebut
adalah :
1.
Atribusi
ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu
organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali.
2.
Delegasi
adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintah kepada organ
yang lain.
3.
Mandat
adalah suatu pemberian wewenang kepada pejabat lain dengan atas nama pejabat
pemberi mandat.[2]
Dari tiga pengertian
sumber kewenangan diatas jika dikaitkan dengan tanggujawab dari wewenang itu
sendiri bahwa dalam atribusi pertanggung jawaban berada pada penerima wewenang
tersebut berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan, dan delegasi
pertanggung jawaban berada pada instansi penerima wewenang tersebut sedangkan
dalam mandat pertanggung jawaban itu berada
pada pemberi wewenang karena dalam mandat tugas yang dilaksanakan
penerima mandat mengatas namakan pemberi mandat tersebut.
Jadi dalam hal ini
Menteri Sosial memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan langkah-langkah
strategis untuk mensukseskan program pemberian iuran jaminan kesehatan. Namun,
untuk mengelola program tersebut perlu adanya koordinasi antar menteri dan lembaga
yang terkait sesuai dengan kewenangannya dalam pemerintahaan sebagai pembantu
Presiden. Langkah koordinasi tersebut diambil untuk hal yang tidak bisa
ditentukan oleh Menteri Sosial sehingga harus dikoordinasikan dengan menteri
dan lembaga yang terkait agar dapat ditentukan bersama atau dilimpahkan kepada
menteri dan lembaga terkait dalam pelaksanaannya.
Pelimpahan ini
merupakah pelimpahan wewenang secara Atribusi menurut Sadjijono menyatakan
wewenang atribusi adalah :
“Wewenang pemerintah
yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, artinya wewenang pemerintah
dimaksud telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,wewenang
ini kemudian yang disebut sebagai asas legalitas (legalitietbeginsel)[3]”.
Ini berarti wewenang
yang diberikan dalam pengelolaan Pemberian Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dari
pemerintah ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Pemerintah yaitu dengan dasar pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran jaminan Kesehatan.
Selain itu, dalam
pengelolaan program penerima bantuan iuran jaminan kesehatan ini perlu adanya
sebuah langkah koordinasi antar kementerian dan instansi pemerintah.
Menurut Pearce II dan Robinson yang dimaksud
dengan koordinasi adalah “Integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan
unit-unit ke dalam satu usaha bersama yaitu bekerja ke arah tujuan bersama”[4].
Sedangkan menurut Stoner koordinasi adalah “Proses penyatu-paduan
sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian atau
bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
secara efisien”.[5]
Dari kedua pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa koordinasi adalah penyatuan beberapa instansi
pemerintah dalam pelaksanaan program sehingga pelaksanaannya dapat berjalan secara
harmonis antar lembaga dan dapat mencapai tujuan secara bersamaan.
Dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan menyebutkan :
1. Kriteria
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu ditetapkan oleh Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
2. Kriteria
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
statistik untuk melakukan pendataan.
Dalam penetapan
kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta jaminan kesehatan menteri
yang yang diberi kewenangan untuk menentukannya adalah menteri sosial yang
telah berkoordinasi dengan menteri dan/atau lembaga yang terkait. Hasil dari
penetapan ini merupakan acuan bagi lembaga yang menyelenggarakan pendataan di
lapangan untuk memilih fakir miskin dan orang tidak mampu. Lembaga yang telah
ditunjuk untuk menyelenggarakan pendataan adalah BPS (Badan Pusat Statistik), yaitu
suatu lembaga pemerintah yang bergerak dalam statistik.
Data yang telah
diperoleh dari BPS tersebut akan di verifikasi dan di validasi untuk dijadikan
data terpadu penerima bantuan iuran jaminan kesehatan. Menteri yang berwenang
melakukan verifikasi dan validasi data tersebut adalah menteri yang
menyelenggarakan bidang sosial yang dirinci menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota
Kemudian Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan menyebutkan : “Data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang
telah diverifikasi dan divalidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, sebelum
ditetapkan sebagai data terpadu oleh Menteri, dikoordinasikan terlebih dahulu
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan
menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait”.
Data terpadu tersebut
digunakan untuk menentukan jumlah penerima bantuan iuran jaminan kesehatan
secara nasional, namun penetapan tersebut Menteri Sosial harus berkoordinasi
terlebih dahulu kepada menteri yang bergerak di bidang keuangan dan
menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, tenaga kerja dan
transmigrasi, dalam negeri, dan pimpinan lembaga yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang statistik. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan
jumlah penerima secara nasional dan besaran anggaran yang akan dikeluarkan untuk
program tersebut.
Setelah dilakukan
penetapan jumlah penerima bantuan iuran jaminan kesehatan data terpadu secara
nasional. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyebutkan : “Data
terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disampaikan oleh Menteri kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan
DJSN”.
Menteri Kesehatan dan
DJSN adalah menteri dan Lembaga yang mengelola dan menyelenggarakan program Jaminan
Kesehatan. Sehingga data terpadu penerima bantuan iuran tersebut dapat
didaftarkan oleh menteri bagian kesehatan ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial) Kesehatan.
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial yang ditunjuk menyelenggarakan jaminan kesehatan adalah
PT. ASKES, yaitu badan hukum milik negara yang menyelenggarakan jaminan
kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian untuk
melakukan pengawasan program penerima bantuan iuran dilakukan dengan merubah
data terpadu dalam adalah kementerian bidang sosial sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2012 yang
menyatakan :
1. Perubahan data PBI
Jaminan Kesehatan dilakukan dengan:
a. penghapusan data Fakir Miskin dan Orang Tidak
Mampu yang tercantum sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena tidak lagi memenuhi
kriteria; dan
b. penambahan data Fakir Miskin dan Orang Tidak
Mampu untuk dicantumkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena memenuhi kriteria
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.
2. Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diverifikasi dan divalidasi oleh Menteri.
Kemudian, Menteri
Sosial melimpahkan wewenang kepada Dinas Sosial Provinsi, untuk melakukan
verifikasi dan validasi peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang
dilakukan setiap 6 (enam) bulan dalam tahunan anggaran.
Pelimpahaan wewenang
tersebut merupakan wewenang secara mandat yang diberikan oleh Menteri Sosial
kepada instansi yang ada di bawahnya. Sadjijono mengatakan bahwa :
“Wewenang mandat,
adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara
bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan”[6].
Sebagaimana terdapat
dalam Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2014 yang menyatakan : “Merujuk
PP Nomor 101 tahun 2012 khususnya pada Pasal 11 ayat (1) dan (2) tentang
Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Dinas Sosial Provinsi
melakukan verifikasi dan validasi setiap 6 (enam) bulan dalam tahun berjalan,
untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi pada Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam sistem Basis Data
Terpadu, serta melaporkan hasil verifikasi tersebut kepada Gubernur,
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial”.
Hal ini dilakukan untuk
melihat kelayakan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan setelah 6 (bulan)
berlangsungnya program ini dalam tahunan anggaran sesuai dengan kriteria yang
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dan jika ditemukan penerima bantuan
iuran jaminan kesehatan yang tidak layak maka mereka wajib ikut jaminan
kesehatan dengan membayar iuran sendiri
Surat Edaran Menteri
Sosial Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan Tahun 2014 juga mengatakan bahwa : “Untuk menampung aspirasi dan
menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat yang menyangkut data kepesertaan
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan,
Dinas/Instansi Sosial Provinsi segera membentuk unit pengaduan masyarakat yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas/Instansi
Sosial yang bersangkutan Membuka Unit Pengaduan Masyarakat disetiap Dinas
Sosial yang di Provinsi dan Kabupaten/Kota”.
Unit Pengaduan
Masyarakat bertujuan untuk menampung aspirasi dan laporan dari masyarakat dalam
masalah penerima bantuan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah jika, ada fakir
miskin dan orang tidak mampu yang masih belum terdaftar sebagai penerima
bantuan iuran jaminan kesehatan.