Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pengertian dan Dasar Hukum Program Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan

Sabtu, 31 Januari 2015 | 19:11 WIB Last Updated 2015-01-31T12:11:44Z
Kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia yang tidak dapat dihapus dalam dirinya karena hak kesehatan tersebut telah ada sejak manusia itu lahir dan harus dijaga keberlangsungannya tanpa adanya diskriminasi. Setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara, dan upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggungjawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat. 

Hal ini dipertegas oleh konstitusi Republik Indonesia yang tercantum dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan : ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Mewujudkan amanat konstitusi tersebut, pemerintah Indonesia harus melaksanakan suatu program jaminan kesehatan agar hak kesehatan seluruh rakyat dapat terjamin dan program tersebut dilaksanakan dengan prinsip asuransi. Hal tersebut sesuai dengan perintah Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jamainan Sosial Nasional (SJSN) yang menyatakan : “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang dimaksud dengan asuransi sosial adalah “Suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya”. Sedangkan prinsip ekuitas adalah pelayanan yang didapatkan sesuai dengan jumlah besaran iuran yang dibayarkan oleh peserta.

Berkaitan dengan pengertian asuransi yang dikaitkan dengan hukum perdata Yusuf Shofie yang dikutip dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa : 
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidup seseorang yang dipertanggungkan”[1].
Dari pengertian asuransi dalam konsep perdata merupakan suatu perjanjian kedua belah pihak yang mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung untuk mengganti kerusakan yang dialami tertanggung sesuai dengan klim yang disepakati dan jumlah klim tersebut sifatnya luas sesuai kesepakatan. Sedangkan asuransi sosial merupakan pengumpulan dana yang didapat dari iuran peserta yang dibayarkan secara wajib guna memberikan pertanggungan dan sifat pertanggunganya hanya berada pada resiko sosial ekonomi. Masyarakat miskin yang tidak mampu membayar iurannya pemerintah wajib membayarkan iuran tersebut, ini sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sos\ial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. 

Masyarakat miskin yang dimaksud adalah fakir miskin dan orang tidak mampu dimana pemerintah wajib mendaftarkan mereka dalam program jaminan kesehatan. Hal ini dipertegas oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang menyatakan :
1. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Menjalankan perintah Undang-Undang di atas maka pemerintah mengeluarkan program Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, hal ini dimaksud agar seluruh fakir miskin dan orang tidak mampu dapat ikut serta dalam program jaminan kesehatan dan menikmati pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

PBI (Penerima Bantuan Iuran) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayarkan pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin dan orang tidak mampu yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalui peraturan pemerintah.

Badan Penyelenggara yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan yaitu Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan PT. ASKES yang ditunjuk oleh pemerintah menjadi BPJS Kesehatan.

Untuk mensukseskan suatu program yang akan diselenggarakan harus dilakukan perlu upaya-upaya yang strategis agar apa yang menjadi tujuan program tersebut dapat tercapai. Upaya tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Menurut Commissie wetgevingsvraagstukken yang dikutip dari Juniar Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat dalam bukunya berjudul Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik yang menyatakan :
“Peraturan kebijakan sebagai suatu peraturan umum tentang pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara (warga negara, juga organ pemerintah lainnya) ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atas instansi pemerintahan yang secara hirarki lebih tinggi”[2].
Sejalan dengan diselenggarakannya program bantuan iuran jaminan kesehatan yang dibayarkan oleh pemerintah, maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu antara lain :
  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Jaminan Kesehatan (SJSN)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
  3. Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013 tetang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu
  4. Keputusan Menteri Sosial Nomor 147 Tahun 2013 tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
  5. Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, merupakan suatu peraturan yang mengatur secara khusus tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang meliputi Ketentuan Umum, Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu, Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Pendaftaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Pendanaan Iuran, sampai Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan ketentuan lainnya.

Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 yang dimaksud dengan fakir miskin adalah : “Orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya”. 

Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 yang dimaksud dengan orang tidak mampu adalah : “Orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya”.

Untuk defenisi kemiskinan menurut para ahli, Ritonga Harmonangan menyatakan bahwa : “Kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum yang layak bagi kehidupannya”[3].

Sedangkan menurut Soemardjan Selo mengatakan bahwa “Faktor-faktor penentu atau determinan kemiskinan sangat tergantung pada kemampuan keluarga untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan sosialnya, yang dapat dilihat dari penduduk atau keluarga tersebut”[4].

Penjelasan lebih detilnya kebutuhan dasar yang dimaksud dilihat defenisi kemiskinan dari BPS dikutip dari Siti Internawati yang menyatakan bahwa :
“Kemiskinan adalah ketidak mampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar makanan setara dengan 2100 kalori perkapita perhari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok. Dari pengertian kemiskinan tesebut maka dapat dijelaskan semakin miskin seseorang maka semakin tinggi proposisi makanannya sebaliknya semakin kaya semakin tinggi proposisi non makannya. Bila diasumsikan suatu rumahtangga memiliki jumlah anggota rumahtangga (household) rata-rata 4 orang, maka batas kemiskinan rumahtangga adalah:
  1. Rumahtangga dikatakan sangat miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 × Rp. 120 ribu = Rp. 480 ribu per rumahtangga per bulan.
  2. Rumahtangga dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 × Rp. 150 ribu = Rp. 600 ribu per rumahtangga per bulan, tetapi diatas Rp. 480 ribu.
  3. Rumahtangga dikatakan Mendekati Miskin apabila kemapuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 × Rp. 175 ribu = Rp. 700 ribu per rumahtangga per bulan, tetapi diatas Rp. 600 ribu”.[5]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan keadaan dimana seseorang atau rumahtangga mengalami kekurangan atau kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya berdasarkan standar kebutuhan dasar manusia secara layak sehingga perlu dibantu oleh pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan dasar tersebut temasuk kesehatan. 

Ketentuan di atas merupakan suatu acuan agar pada saat pendaftaran fakir miskin dan orang mampu menjadi peserta jaminan kesehatan oleh pemerintah dapat tepat sasaran sesuai dengan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu yang telah ditetapkan pemerintah. Kriterianya tersebut diatur oleh menteri yang diberi kewenangan agar menjadi panduan bagi lembaga dalam melakukan pendataan. 

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, menyatakan jaminan kesehatan adalah : “Jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. 

Berkaitan dengan bantuan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah, pengeluaran biaya tersebut telah dianggarkan melalui APBN oleh pemerintah setiap tahunnya. Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyatakan yang dimaksud dengan Iuran adalah : “Sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau pemerintah”. Pembayaran iuran dimaksud agar peserta jaminan kesehatan tidak merasa terbebani atau jatuh miskin ketika mereka sakit karena biaya pengobatan yang sangat mahal dan yang fakir miskin dan orang tidak mampu dapat menikmati program jaminan kesehatan sehingga kesehatannya dapat terjamin”. 

Peserta dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan terdiri dari fakir miskin dan orang tidak mampu yang sudah teregister dan belum teregister. Menurut Diktum Kedua Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu dikatakan fakir miskin dan orang tidak mampu yang teregister apabila rumah tangganya memiliki kriteria sebagai berikut :
  1. tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenui kebutuhan dasar.
  2. mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana
  3. tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah.
  4. tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga
  5. mempunyai kemempuan hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
  6. mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tidak diplaster
  7. kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/kramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah
  8. atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/kulitas rendah
  9. mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran
  10. luas lantai rumah kecil kurang dari 8 m²/orang, dan
  11. mempunyai sumber mata air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/ air sungai/air hujan/lainnya.
Sedangkan fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang belum teregister menurut Diktum Ke Empat Kemensos Nomor 146 Tahun 20013 adalah yang terdapat dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial dan/atau di luar Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terdiri dari :
  1. Panti Asuhan
  2. Rumah Singgah
  3. Rumah Perlindungan Sosial Anak
  4. Lembaga Perlindungan Sosial Anak
  5. Tempat Penitipan Anak Miskin
  6. Balai Rehabilitas Sosial
  7. Rumah Perlindungan Dan Trauma Center, Atau
  8. Nama lain sejenisnya
Sedangkan fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang dimaksud Diktum Ke Empat Kemensos Nomor 146 Tahun 20013 di atas adalah :
  1. gelandangan
  2. pengemis
  3. perseorangan dari Komunitas Adat Terpencil
  4. perempuan rawan sosial ekonomi
  5. korban tindak kekerasan
  6. masyarakat miskin akibad bencana alam dan sosial pasca tanggap darurat sampai satu tahun setelah bencana
  7. perseorangan penerima manfaat Lembaga Sosial
  8. penghuni Rumah Tahanan
  9. penderita Thalassaemia Mayor
  10. penderita kejadian Ikutan Paksaan Imunisasi (IPI)
Untuk berhasilnya Program Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan harus dilakukan upaya-upaya strategis agar penyelenggaraan program tersebut berjalan dengan baik. Berkaitan dengan upaya strategis penyelenggaraan pemerintahaan Titik Triwulan Tutik menyatakn bahwa :
“Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melaui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melaui lembaga lembaga ombusdman”.[6] .
Berkaitan dengan pentingnya pengawasan Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir mengatakan bahwa : “Pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan saran yang hendak dicapai”[7].
Pengawasan yang perlu dilakukan agar program pemerintah ini dapat terselenggara dengan baik, maka perlu adanya pengawasan intern dan pengawasan ekstern instansi penyelenggara program tersebut. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir mengartikan pengawasan intern dan pengawasan ekstern adalah :
“Pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri contohnya pucuk pimpinan dari lembaga atau organisasi tersebut tetapi biasanya pengawasan ini hanya dilakukan oleh pimpinan unit saja. Sedangkan pengawasan ekstern merupakan pengawasan yang dilakukan oleh organisasi dari luar dimana pengawasan ini dilakukan oleh lembaga atau instansi lain contohnya pengawasan dibidang keuangan dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)”[8].
Selain pengawasan intern dan ekstern dalam melaksanakan sebuah program pemerintah perlu adanya juga suatu pengawasan melekat, Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir juga mengatakan bahwa
“Pengawasan melekat yaitu berupa tindakan atau kegiatan atau usaha untuk mengawasi dan mengendalikan anak buah secara langsung, yang harus dilakukan sendiri oleh setiap pimpinan organisasi”[9].
Pengawasan melekat dilihat dari cara kerjanya maka, pengawasan timbul secara otomatis pada saat sorang pejabat/petugas melakukan tindakan pada saat melakukan tugasnya sehingga daya kerja pengawasan melekat ini dapat mencegah kesalahan dan kecurangan terjadi.

Pengawasan yang dilakukan agar sasaran penerima bantuan iuran jaminan kesehatan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013.tentang Penetapan Dan Pendataan Kriteria Fakir Miskin Dan Orang Tidak Mampu.

Pengawasan ini dilakukan oleh menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. jika ditemukan kejanggalan maka Menteri Sosial dapat melakukan perubahan data penerima bantuan iuran tersebut.
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan menyatakan :
1.    Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan dengan:
a.    penghapusan data fakir miskin dan orang tidak mampu yang tercantum sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena tidak lagi memenuhi kriteria; dan
b.    penambahan data fakir miskin dan orang tidak mampu untuk dicantumkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena memenuhi kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu.
Perubahan data tersebut dilakukan dengan verifikasi dan validasi kambali data penerima bantuan iuran jaminan kesehatan setiap 6 (enam) bulan dalam tahun anggaran berjalan yang dilakukan oleh Dinas Sosial yang berada di Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Menurut Kamus Hukum verifakasi adalah : “Pemeriksaan, penelitian, untuk meneliti kebenaran suatu hal”[10]. Sedangkan pengertian validasi dalam Kamus Hukum menyatakan adalah : “Pernyataan tentang sahnya sesuatu”[11]. Jadi, verifikasi dan validasi data yang dilakukan ini untuk mengkaji kembali kelayakan dari peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan setelah 6 (bulan) dalam anggaran setiap tahunnya.
Pasal 1 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang dimaksud dengan menteri adalah : “Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait menurut penjelasan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyatakan : “Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, dalam negeri, dan pimpinan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik untuk melakukan pendataan”.
Perubahaan data penerima bantuan iuran jaminan kesehatan  ini dilakukan untuk melihat masih layak atau tidaknya fakir miskin dan orang tidak mampu mendapatkan bantuan iuran tersebut dan jika ditemukan tidak layak lagi maka mereka ikut jaminan kesehatan dengan membayar iuran sendiri.



[1] Yusuf Shofie, “Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya” PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2000, h. 157
                [2] Juniar Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik, NUANSA, Bandung, 2009. h. 156
                [3] Ritonga Harmonangan, Perhitungan Penduduk Miskin, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, 2003. h.1
                [4] Soemarjan Selo, Menyusun Liku-liku Pendataan Keluarga , BKKBN, Jakarta, 2003. h. 29
                [5] Siti Internawati, ”Studi Pelaksanaan Pendataan Keluarga Miskin Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di Desa Danau Redan Kecamatan Teluk Pandan” eJournal Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Samarinda, 2013. h. 312
[6] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2010, h. 212
[7] Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat,Rineka Cipta, Jakarta, 1994. h.21
                [8] Ibid, h. 28-29
                [9] Ibid, h. 71
                [10] J.C.T. Simorangkir et.Al, Kamus Hukum, cet., XIV, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. h. 176
[11] Ibid, h.175
×
Artikel Terbaru Update