Ulama ushul
fiqh membagi hukum Islam menjadi dua pembagian yaitu hukum al-taklifi dan wadh’i.
A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah
titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif karena
titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud
dengan mukallaf dalam kajian hokum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak,
orang gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka
segala tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk tuntutan di
dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk
meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua
bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan
pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan.
Menurut
Al-Amidi ( 1983 : 91 ) hokum taklif itu
ada empat dengan tidak memasukkan al-ibadah
(pilihan) karena yang dimaksud dengan taklif
itu adalah beban kepada orang yang mukallaf
baik untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan menurut jumhur ulama
hokum taklif itu ada lima macam yang disebut
juga dengan hukum yang lima
sebagai berikut.
a. Wajib, yaitu tuntutan yang
mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut
mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti
firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.
“ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).
b. Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan
tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi
orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya,
tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman
dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai
berikut.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah
kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).
c. Haram, yaitu tuntutan yang
mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya
berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut
mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan
berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan
ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya
sebagai berikut.
“ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu
bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya
perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).
d. Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung
larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan
berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran
pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang
meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang melarang, dan
tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.
“Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya,
Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalak.”
(HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).
e. Mubah, yaitu titah Allah SWT yang
memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan
, dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila
seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas
perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia
melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti
firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Talak (yang dapat rujuk) dua kali.
Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).
Pengaruh
titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi
pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
B.
Hukum Wadh’i
Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut
ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40),
sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).
1. Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan
sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S
17 :78 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dirikanlah shalat
sesudah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).
2. Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan
syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah tidak
menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga
berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).
Shalat tidak dapat
dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak
otomatis harus mengerjakan shalat karena berwudhu itu merupakan salah satu
syarat sah nya shalat. Jadi suatu hokum taklifi
tidak dapat dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
syara’. Oleh sebab itu berwudhu (
suci ) merupakan syarat sahnya shalat.
3. Mani’
(penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada
hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang
terjemahannya sebagai berikut.
“ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah
shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari
( Al-Asqalany, I tth :63).
Dari contoh-contoh di atas jelas
keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.
4. Shah,
yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu
dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab
penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah
tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada
penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah
sah.
5. Bathil, yaitu
terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat
hokum yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan memperjualbelikan
minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan hukum
syara’.
Adapun mengenai rukhsah
dan ‘azimah, Syarifuddin
sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam
pelaksanaan hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan
dalili umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya,
seperti haramnya bangkai untuk umat Islam.
Rukhsah, yaitu
keringanan atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai
pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan
bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.