“There are
only two things that can be lightening the world. The sun light in the sky and
the press in the earth.” (Mark Twain)
Sebenarnya
kalau kita resapi ungkapan Mark Twain diatas, tidaklah berlebihan adanya. Bahwa
hanya ada dua hal yang bisa membuat terang bumi ini, yakni sinar matahari
dilangit dan pers yang tumbuh berkembang di bumi ini. Pers sendiri memang tidak
bisa dipisahkan kaitannya dengan macam ragam informasi yang dibutuhkan oleh
manusia dalam menjalani peradabannya. Mulai dari persoalan corak warna hidup
sampai hal yang detail sekalipun tentang sebuah eksistensi kehidupan.
Dalam
peradaban manusia, Pers sangat dikenal mempunyai fungsi yang essential. Mulai
dari education function (fungsi pendidikan) , Information (sumber informasi),
entertainment (hiburan) dan social control (fungsi kontrol sosial). Sehingga
wajar kalau kita melihat pers menjadi suatu kebutuhan dan menyebabkan “momok”
bagi negara yang menerapkan sistem outhoritarian. Pers menjadi kekuatan maha
dahsyat yang dapat menggerakkan siapa saja untuk berbuat seperti yang kita
kehendaki atau sekedar mempengaruhi/menciptakan public opinion (komunikasi
massa). Dan, pers sendiri terlanjur menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Apalagi,
dinegara under developed atau new born countries seperti layaknya Indonesia,
negara yang nota bene masih muda, yang memerlukan banyak perbaikan sistem di
semua lini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menuju suatu kesempurnaan
tatanan hidup. Pers sangat dibutuhkan sekali peranannya dalam mengisi
nuansa-nuansa yang tidak terjamah oleh “institusi” lainnya, baik yang bersifat
informasi tempat sharing penemuan ide-ide cemerlang tentang sebuah kemapanan
dari sebuah arti negara, atau berposisi sebagai kontrol sosial terhadap segala
kebijakan yang diambil dan diterapkan oleh pemerintah.
Pers sendiripun sudah menjadi sebuah legenda sebagai sebuah sejarah yang kemudian melahirkan mitos, mulai dari para tokohnya dan peran serta aktivitasnya. Diakui atau pun tidak, kita pasti melihat ruang dan waktu, yang telah memberi tempat untuk berpikir dalam aktivitas kita sehari-hari.
Pers sendiripun sudah menjadi sebuah legenda sebagai sebuah sejarah yang kemudian melahirkan mitos, mulai dari para tokohnya dan peran serta aktivitasnya. Diakui atau pun tidak, kita pasti melihat ruang dan waktu, yang telah memberi tempat untuk berpikir dalam aktivitas kita sehari-hari.
PERS MAHASISWA
Sebelum
kita melangkah terlalu jauh dalam bahasan-bahasan menarik tentang Pers secara
luas, saya tertarik untuk mengambil inisiatif kata sepakat, mengerucutkan
bahasan kita kali ini yaitu tentang Pers mahasiswa. Kalau kita cerrmati, pers
mahasiswa mengandung dua unsur kata yakni pers dan mahasiswa (lexical meaning).
Pers berarti segala macam media komunikasi yang ada. Meliputi media Buku,
majalah, koran, buletin, radio ataupun telivisi serta kantor berita. Dan, Pers
itu sendiri identik dengan news (berita). Maka, tidak terlanjur salah apabila
kita mengatakan bahwa NEWS berkaitan dengan North, East, West dan South, yang
artinya suatu kabar atau berita dan informasi yang datangnya dari empat arah
penjuru mata angin (berbagai tempat). Oleh karena itu, Pers/News harus
mengandung suatu unsur publishita (tersebar luas dan terbuka), aktualita
(hangat dan baru) dan periodesita (mengenal jenjang waktu contohnya : harian
mingguan atau bulanan).
Mahasiswa sendiri mempunyai definisi
bahwa kalangan muda yang berumur antara 19 – 28 tahun yang memang dalam usia
itu manusia mengalami suatu peralihan dari remaja ke fase dewasa. Pada fase
peralihan itu secara Psikologis Aristoteles mengatakan kaula muda mengalami
suatu minat terhadap dirinya, minat terhadap sesuatu yang berbeda atas
lingkungan dan realitas kesadaran akan dirinya. Disamping itu Mahasiswa adalah
suatu kelompok elit marjinal dalam lingkungan suatu dilema. Seperti yang
dikatakan oleh Frank. A . Pinner dalam salah satu ungkapannya yaitu “marginal
elites, of which students are one species, are cought in a dilemma, between
elitist and populist attitude. They are impelled to protect their
distinctiveness and privilege while at the sime time documenting their concern
for the common man and he community or policy as a whole their own position or
the integrity of society appears to be threated” ).
Sosok Mahasiswa juga kental dengan
nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan
kenyataan obyektif, sistematis dan rasional. Disamping itu, Mahasiswa merupakan
suatu kelompok masyarakat pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi, tata nilai
kepemudaan dan disiplin ilmu yang jelas sehingga hal ini menyebabkan keberanian
dalam mereleksikan kenyataan hidup di masyarakat. Dan tata nilai itulah yang
juga menyebabkan radikal, kritis, dan emosional dan secara perlahan menuju
suatu peradaban/kultur baru yang signifikan dengan hal-hal yang bernuansa aktif,
dinamis dan senang pada perubahan. sehingga dari dasar inilah, kawan-kawan bisa
melihat ciri khas mahasiswa sebagai pengelola pers mahasiswa berbeda dengan
pers umum.
PERS MAHASISWA DITINJAU DARI KAJIAN HISTORIS
PERS MAHASISWA DITINJAU DARI KAJIAN HISTORIS
Jika kita percaya terhadap ‘mahluk’ yang bernama sejarah, kemudiaan kita claim sebagai gerak dialektis antara kondisi subyektif pelaku dan kondisi obyektif dimana mereka berada, kawan-kawan akan melihat dinamika Gerakan Mahasiswa sepanjang waktu tidak lepas dari pengaruh para aktivis Pers mahasiswa. Karena kita percayai disini, Pers mahasiswa adalah suatu alat perjuangan bagi kaum aktivis gerakan mahasiswa, corong kekuatan dalam menyalurkan aspirasi kritis seorang tunas bangsa, dan kita akan melihat hubungan diantara keduannya sangat erat. Supaya lebih jelasnya saya akan mecoba menemani kawan-kawan untuk mencoba melihat sejarah Pers Mahasiswa yang berada “dibelakang” kita.
Pers Mahasiswa Indonesia Jaman Kemerdekaan Jaman Kolonial
Belanda (1914-1941)
Pers mahasiswa lahir se-mainstream
dengan munculnya gerakan kebangkitan Nasional yang di tulangpunggungi oleh
pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pers Mahasiswa waktu itu menjadi alat untuk
menyebarkan ide-ide perubahan yang menitik beratkan pada kesadaran rakyat akan
pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Dalam era ini bermunculan Hindia Putra
(1908), Jong Java (1914), Oesaha pemoeda (1923) dan Soeara Indonesia Moeda (193
yang secara gigih dan konsekuen atas keberpihakannya yang jelas pada perjuangan
kemerdekaan. Dalam era ini Nugroho NotoSusanto mengungkapkan bahwa Pers Mahasiswa Indonesia
sesungguhnya mulai timbul dari zaman kolonial Belanda. Akan tetapi, Pers
Mahasiswa dalam kurun waktu ini dipandang kurang terdapat suatu pergerakan Pers
mahasiswa yang sedikit banyak profesional. Dan baru sesudah era kemerdekaan
Pers Mahasiswa memulai kiprahnya ke arah profesional.
Jaman Pendudukan Jepang
Dalam
era ini, tidak terlalu banyak tercatat kemajuan berarti karena masa ini para
mahasiswa dan pemuda sibuk dalam perjuangan politik untuk kemerdekaan
Indonesia.
Jaman Setelah Kemerdekaan. Pada jaman ini sedikit banyak Pers Mahasiswa mengalami suatu kemajuan artinya peluang untuk membentuk lermbaga-lembaga Pers Mahasiswa semakin terbuka lebar terutama buat para Mahasiswa dan Pemuda.
Jaman Setelah Kemerdekaan. Pada jaman ini sedikit banyak Pers Mahasiswa mengalami suatu kemajuan artinya peluang untuk membentuk lermbaga-lembaga Pers Mahasiswa semakin terbuka lebar terutama buat para Mahasiswa dan Pemuda.
Jaman Demokrasi Liberal
Dari
tahun 1945-1948, belum banyak Pers Mahasiswa yang lahir secara terbuka karena
para Mahasiswa dan Pemuda terlibat secara fisik dalam usaha membangun bentuk
Republik Indonesia. Penulis mencatat pada era Majalah IDEA yang diterbitkan
oleh PMIB yang kemudian berganti PMB pada tahun 1948. Setelah Tahun 1950
barulah Pers Mahasiswa Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat. Kemudian
komunitas Pers Mahasiswa Indonesia mengalami salah satu puncaknya di era ini. Jumlah
Pers Mahasiswa meningkat secara pesat diiringi dengana segala dinamika-dinamika
yang ada. Kemudian muncul suatu hasrat dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa
untuk meningkatkan kualitasnya, baik dari sisi redaksional maupun sisi
perusahaan. Dan, atas inisiatif Majalah Gama, diadakan konferensi I bagi Pers
Mahasiwa Indonesia. Konferensi menghasilkan dua organisasi yaitu Ikatan
Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI yang ketuanya T Yacob) dan Serikat Pers
Mahasiswa Indonesia (SPMI yang ketuanya adalah Nugroho Notosusanto). Dalam
era ini, opini Pers Mahasiswa dalam hal kematangannya tidak kalah dengan Pers
Umum. Bahkan, era ini dianggap keemasan Pers Mahasiswa Indonesia yang kemudian
mengikuti Konperensi Pers Mahasiswa Asia yang diikuti oleh negara Australia,
ceylon, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, New zealand, pakistan dan
Philipina. Kemudian Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia mengadakan kerjasama
dengan Student Informatin of Japan dan college editors Guild of the
Philipphines (perjanjian segi tiga). Kemudian
Tanggal 16-19 Juli 1958 dilaksanakan konperensi Pers Mahasiswa ke II yang
menghasilkan peleburan IWMI dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia) karena anggapan perbedaan antara kegiatan perusahaan pers mahasiswa
dan dan kegiatan kewartawanan sulit dibedakan dan dipisahkan.
Jaman Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dalam
sistem politik terpimpin ini, pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap
kehidupan Pers. Bagi media Pers yang tidak mencantuman MANIPOL USDEK dalam
AD/ART (anggaran dasar dan anggaran rumah tannga) nya akan mengalami
pemberangusan. Artinya Pers kala itu harus jelas menyuarakan aspirasi partai
politik tertentu. Setelah
pemberlakuan peraturan Presiden Soekarno tentang MANIPOL USDEK, IPMI sebagai
lembaga yang Independen mengalami krisis eksistensi karena dalam tubuh IPMI
sendiri terdapat kalangan yang menginginkan tetap independen, menyuarakan
aspirasi rakyat dan ada yang mengarah ke pola partisan (memihak parpol/kelompok
tertentu). Akhinya pada saat itu, banyak Lembaga Pers mahasiswa yang mengalami
kemunduran dan kematian, akibat pukulan politik ekonomi ataupun dinamika
kebangsaan yang berkembang saaat itu.
Jaman Orde Baru
Setelah
peristiwa G.30.S/PKI IPMI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia terlibat
penuh dalam usaha pelenyapan Demokrasi Terpimpin dan akhirnya melahirkan
Aliansi Segitiga (Aktivis Pers Mahasiswa, Militer dan Teknokrat) untuk
menghancurkan kondisi yang membelenggu bangsa dalam Outhoritarian. Pada awal
era ini, Pers Mahasiswa kembali ke lembaganya yakni IPMI. Lembaga Pers
Mahasiswa se Indonesia ini beorientasi jelas memaparkan kejelekan Demokrasi
Terpimpin melibatkan diri dalam kegiatan politik dengan menjadi Biro Penerangan
dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Di era ini tebit harian KAMI
yang terkemuka yaitu Mahasiswa Indonesia (Jabar), Mimbar Demokrasi (Bandung)
dan keduanya adalah penebitan resmi IPMI. Ternyata
kehidupan Liberal yang dijanjikan oleh para “penguasa” sesudah era Demokrasi
Terpimpin dirasakan ternyata hanya sementara saja. Dan format baru politik
Indonesia di mulai dengan diadakan PEMILU, perlahan namun pasti Orde Baru
beralih menjadi otoriter. Dengan dipengaruhi keputusan format baru perpolitikan
Indonesia bahwa kegiatan politrik diatur oleh pemerintah dan ditambah
kebijaksanaan bagi aktivitas dunia kemahasiswaan harus melakukan back to
campus. Hal di atas itulah yang mermbuat IPMI mengalami krisis identitas. Hal
ini terlihat ketika Harian KAMI, penerbitan IPMI yang ada di luar kampus
terpaksa dilepas dan akhirnya menjadi Pers Umum. Hal ini dikarenakan oleh iklim
perpolitikan yang dikembangkan saat itu dan ditopang oleh kebijakan pemerintah
yang memaksa anggota IPMI adalah murni mahasiswa yang beraktifitas di dalam
kampus. Kemudian adanya kebijaksanaan Pemerintah tentang penyerdehanaan partai
Tahun 1975, dilanjutkan dengan disetujuinya keputusan pemerintah oleh sebagian
anggota IPMI bahwa Pers Mahasiswa harus kembali ke kampus maka dalam Kongres
III pada tahun akhirnya IPMI dipaksa untuk back to campus. Terpaksa kemunduran
pun terjadi lagi dalam tubuh IPMI, perlahan-lahan Media-media pers mahasiswa yang
ada di luar kampus banyak yang berguguran.
Sejalan
dengan new format kondisi perpolitikan indonesia yang mengharuskan Semua
Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia harus back to campus dan kemudian direspon
kembali oleh IPMI dengan mencoba berbenah diri, kemudian melakukan kongresnya
yang ke IV pada bulan Maret 1976 di Medan. Dalam kongres itu, IPMI belum mampu
keluar dari permasalahan hidup antara di luar atau di dalam kampus. Akhirnya,
IPMI gagal dalam mencari Eksistensinya, tidak menghasilkan AD/ART baru ditambah
IPMI banyak ditinggalkan oleh LPM anggota yang memang pada saat itu terlalu
enjoy mengurusi urusan di dalam kampus masing-masing sehingga lupa kewajiban
organisasi skala nasional yang dulu pernah dibentuk bersama..
Pada
sekitar awal tahun 1978, Media Umum banyak yang di breidel sebagai cermin
ketakutan penguasa waktu itu dengan institusi pers, sebagai contoh KOMPAS,
SINAR HARAPAN, MERDEKA, INDONESIA TIMES dan masih banyak lagi yang lainnya.
Akibatnya, “dunia” pers yang kosong diisi oleh Pers Mahasiswa Indonesia
tentunya dengan pemberitaan khas sebagai cerminan Pers Mahasiswa yaitu kritis,
berani dan keras. Era ini, oplah Surat Kabar Mahasiswa mencapai puncaknya.
Namun, Pers Mahasiswa yang dikatakan oleh Daniel Dakidae sebagai cagar alam
kebebasan pers akhirnya juga di breidel karena kekritisan dan keberanian
menyuarakan kenyataan di masyatrakat. Dilanjutkan dengan kebijaksanaan NKK/BKK
yang memaksa kekuatan Pers Mahasiswa untuk masuk dalam kampus, kemudian hampir
semua media Pers Mahasiswa Indonesia di “matikan”. Inilah pertama kali dalam
sejarah Pers Indonesia semua Pers mahasiswa Indonesia di breidel.
Selain
membumihanguskan semua Lembaga pers Mahasiswa, pemerintah masih kurang terima
karena masih ada IPMI yang masih bercokol dalam skala nasional. Untuk itu,
pemerintah lebih mengoptimalisasi BKSPMI (Badan Kerjasama Pers Mahasiswa
Indonesia) yang dibentuk 1969 sebagai tandingan IPMI. Ditambah lagi aksi
penguasa yang menghabisi semua Gerakan Mahasiswa Anti Suharto yang nota bene
sebagai “Underbow” IPMI Kemudian dilanjutkan peristiwa MALARI (Mala Petaka
Limabelas Januari) yang sangat tragis pada tahun 1974 dan diberlakukannya
NKK/BKK yang mengurung ruang gerak Aktivis Pers Mahasiswa dalam kampus pada
Tahun 1978. Dengan kenyataan diatas Pers Mahasiswa (IPMI) menjadi tidak bebas
merefleksikan secara tuntas kenyataan hidup dalam masyarakat kemudian menginjak
padam pada menjelang pertengahan Tahun 1982.
Era 90-an
Menelusuri
akar pertumbuhan dan perkembangan gerakan pers mahasiswa di Indonesia terutama
kebangkitannya di era 90-an, telah banyak catatan-catatan penting yang
ditinggalkan, yang selama ini perlu dikumpulkan kembali dari tempatnya yang
“tersembunyi” dan barangkali belum pernah kita tengok kembali, yang
memungkinkan dari catatan tersebut tersirat sebuah semangat tentang perjuangan
meraih tujuan bersama, yang pernah didengungkan dalam masa-masa. Kemunculan
Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada dekade 90-an ini di tahun
1992-1993 (1995 pada kongres II-nya, istilah penerbitan digantikan pers),
mempunyai makna historis tersendiri dalam upaya pembentukan jaringan gerakan
pers mahasiswa di Indonesia. Walau tak dapat dipungkiri, peran dan transformasi
format gerakan pers mahasiswa selama berjalannya kinerja organisasi ini
seringkali dirasakan menemui kendala dan tantangan yang tidak ringan untuk
dihadapi. Selain persoalan secara geografis, dan persoalan dimensi politis
berhadapan dengan penguasa (baik birokrasi kampus atau negara), Terlebih pula
persoalan terputusnya transformasi visi dan misi PPMI dari generasi sebelumnya,
juga secara de facto keberadaan PPMI masih sering dipertanyakan oleh beberapa
lembaga Pers Mahasiswa di Indonesia. Dalam lembaran-lembaran catatan kali ini,
penulis ingin mencoba menyajikan suatu kerangka awal dalam upaya merekontruksikan
kembali keberadaan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia secara kronologis
kelahiran dan pertumbuhannya dalam kontalasi gerakan pers mahasiswa di
Indonesia.
Bukan Romantisme Belaka
Paska
peristiwa MALARI (malapetaka lima belas januari 1974) bisa dikatakan pemerintah
mulai melakukan pendekatn represif terhadap setiap aktivitas kritis kampus.
Pada kelembagaan mahasiswa, melalui NKK-BKK terjadi strukturisasi. kondisi
demikian menyulut aksi-aksi protes mahasiswa sepanjang tahun 1974 – 1978, yang
diantaranya juga dilakukan oleh Dewan Mahasiswa. Melalui berbagai
pamlet-pamlet, ataupun media mahasiswa yang diterbitkan oleh dema saat itu,
kecaman-kecaman, kritik, kontrol terhadap setiap kebijakkan pembangunan di awal
orde baru mulai dilancarkan. Namun lewat kebijakkan berikutnya, penguasa orde
baru dengan aliansi militer dan sipilnya telah sedemikian rupa contohnya
melalui surat yang diturunkan oleh Pangkopkamtib ketika itu (1978), Dema
sebagai salah satu kekuatan lembaga mahasiswa saat itu kemudian dibubarkan,
menyusul kemudian de-ormasisasi kelembagaan mahasiswa baik ditingkat intra
kampus maupu ekstra kampus melalui KNPI-nya, maka praktis aktivitas mahasiswa
dibugkam satu-persatu.
Dan
di sisi lain pers mahasiswa yang telah lama juga menjadi salah satu alat
perjuangan mahasiswa meneriakkan aspirasi dan memainkan peran kontrol sosialnya
juga dibungkam. IPMI ( Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, berdiri tahun 1955)
yang menjadi satu-satunya wadah nasional pers mahasiswa Indonesia dan sempat
menjadi salahsatu motor gerakan mahasiswa juga secara perlahan mulai dimatikan.
Hingga eksistensi organisasi ini akhirnya mulai padam menjelang pertengahan
tahun 1982. Praktis beberapa elemen kekuatan mahasiswa yang diantaranya
termasuk pers mahasiswa mengalami kelesuan dan kemandegan.
Di
awal era menjelang tahun 90-an, munculnya kelompok studi dan forum -forum
diskusi mahasiswa ataupun lembaga swadaya kemasyarakatan (LSM) baik yang
didirikan oleh para aktivis mahasiswa ataupun pemuda yang prihatin terhadap
kondisi lingkungan, mulai menjamur di berbagai daerah - sebagai sebuah solusi
terhadap kebekuan aktivitas kritis kampus ataupun aktivitas peduli lainya.
Mahasiswa mulai mendefinsikan kembali peranannya untuk menghayati setiap
persoalan-persoalan kemasyarakatan dan fenomena politik yang terus berkembang
seiring dengan menguatnya konsolidasi orde baru.
Demikian
pula yang terjadi dalam aktivitas pers mahasiswa. Aktivitas-aktivitas
penerbitan dan beberapa forum pelatihan dan pendidikan jurnalistik di tahun
1986-1989 mulai marak diadakan oleh beberapa perguruan tinggi dalam rangka
menghidupkan kembali dinamika intelektual kampus. Dari sekian forum-forum
pelatihan jurnalistik mahasiswa tersebut, tersirat tentang sebuah keinginan
akan sebuah wadah bagi tempat sharing (tukar-menukar pengalaman) para pegiat
pers mahasiswa dalam rangka untuk meningkatan mutu penerbitan mahasiswa sendiri
ataupun untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pers mahasiswa.
Maka mulai tahun 1986, forum-forum pertemuan para pegiat/aktivis pers mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi mulai marak terjadi. Tak pelak lagi gelombang
aspirasi dan akumulasi persoalan yang digagas oleh para aktivis pers mahasiswa
mulai muncul dan mewarnai berbaai forum pertemuan aktivis pers mahasiswa.
Namun
ada beberapa hal yang terpenting dari berbagai forum pers mahasiswa tersebut,
yang sekiranya dari penelusuran data-data di bawah ini dapat menjadi catatan
sebagai sebuah refleksi dan pemahaman lebih lanjut. Tetapi hal ini bukan
sekedar ” romantisme belaka” yang hendak kita capai dalam penelusuran sacara
historis fase-fase perkembangannya. Peranan pers mahasiswa dalam kancah
pembaharuan bidang politik tentunya mempunyai dimensi sosial tersendiri. Yang
terkadang terlupakan dalam arah sejarah negeri ini. Guratan visi dan misinya
yang mengandung penegasan sikap mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat
di negeri ini, yang secara sosial terdidik dalam lingkungan intelektual kampus,
yang diharapkan mampu peka terhadap perkembangan sosial di tubuh masyarakat dan
negara. Dan melalui pers mahasiswa, sebagai salah satu media perjuangan
mahasiswa menyampaikan suara dan nuraninya, kepekaan sosial mampu ditumbuhkan
dan simultan dengan fenomena yang terjadi di negeri ini.
Di
awal bagian pengantar disebutkan bahwa mulai tahun 1980- 90an, aktivitas -
aktivitas mahasiswa mulai marak dengann ditandai munculnya berbagai kelompok
Studi, lembaga swadaya masyarakat ataupun aktivitas-aktivitas lainnya.
Begitupun yang terjadi dalam perkembangan pers mahasiswa di tanah air. Maraknya
penerbitan mahasiswa mulai muncul di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Semenjak
kebekuan IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) di tahun 1982, praktis
aktivitas penerbitan mahasiswa tidak banyak muncul. Namun kegiatan-kegiatn off
print seperti halnya pelatihan dan pendidikan jurnalistik mahasiswa ataupun
diskusi masih bisa dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi. Momentumnya adalah
menjelang tahun 1986 aktivitas-aktivitas ini mulai marak dilakukan dengan skala
yang lebih luas, mempertemukan pegiat-pegiat pers mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi. Sebagai sebuah akumulasi persoalan-persoalan yang dibahas dan
dipecahkan oleh para pegiat pers mahasiswa yang sering bertemu dalam
forum-forum tersebut, tercetus keinginan untuk kembali mengkonsolidasikan
potensi kekuatan pers mahasiswa di berbagai daerah dalam mendorong bangkitnya
aktivitas pers mahasiswa, serta mendefinisikan dan mengaskn kembali peranan
yang harus dipegang pers mahasiswa dalam menghayati persoalan-persoalan yang
dihadapi kontekstual dengan fenomena sosial yang berkembang.
Dari
berbagai sumber yang sempat dilansir dan disarikan dari beberapa media
mahasiswa, tersirat keinginan dari sekian pegiat pers mahasiswa saat itu
tentang terbentuknya sebuah wadah di tingkat nasional yang diharapkan dapat
menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi pers mahasiswa. Secara kronologis
fase-fase konsolidasi pers mahasiswa Indonesia dalam rangka menggalang komitmen
dan mendorong upaya jaringan komunikasi dann sosialisasi pers mahasiswa bisa
dicermati dari tulisan di bawah ini :
Dari Pers Mahasiswa Menuju PPMI
Setelah “Vacum” akibat pembredelan sebagai buntut peristiwa
Malari, 15 Januari 1974 dan strukturisasi kelembagaan mahasiswa di bergbagi
perguruan tinggi melalui NKK/BKK. Pers mahasiswa (persma) pasca 1980-an kembali.
Ditandai dengan terbitnya berbagai media mahasiswa misalnya, Balairung - UGM -
1985, Solidaritas Universitas Nasional Jakarta - 1986, Sketsa Universitas
Jenderal Soedirman 1988, Pendapa Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa 1988,
Akademika Universitas Udayana 1983- dan lain-lainya, usaha-usaha untuk menata
kembali jaringan komunikasi dann penggalangan komitmenn pers mahasiswa mulai
dirintis