Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Asal-Usul Nama Indonesia dan Sejarah Nama Indonesia

Selasa, 16 Maret 2021 | 18:35 WIB Last Updated 2023-03-30T13:34:54Z


Irwan sahaja - Walau kita ini bangsa Indonesia, namun bisa saja belum semua masyarakat mengetahui asal mula mengapa Negara ini menggunakan nama Indonesia sebagai nama resmi. Bila ditelusuri lebih jauh, sejarah mengenai asal mula Negara ini memakai nama Indonesia tercantum dalam judul artikel “Tentang Nama Indonesia” di buku “Mohammad Hatta: Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1927-1977).




Diawali oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda yang memakai nama Nederlandsch-Indie atau Hinda-Belanda untuk Indonesia semasa penjajahan (dimulai 1602 dan diselingi penjajahan Prancis, Inggris, dan Jepang). Nama “Indonesia” pertamakali muncul di tahun 1850, di sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Penemunya adalah dua orang Inggris: James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl.






Saat itu, nama Hindia-nama wilayah kita saat itu-sering tertukar dengan nama tempat lain. Karena itu, keduanya berpikir, daerah jajahan Belanda ini perlu diberi nama tersendiri. Earl mengusulkan dua nama:

Indunesia atau Malayunesia. Earl sendiri memilih Malayunesia. Sedangkan Logan yang memilih nama Indunesia. Belakangan, Logan mengganti huruf “u” dari nama tersebut menjadi “o”. Jadilah: INDONESIA




Nama Indonesia lalu dipopulerkan oleh etnolog Jerman, Adolf Bastian melalui bukunya, Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels dan Die Volkev des Ostl Asien (1884). Pada 1924, pemakaian nama Indonesia dimulai dengan terbitnya koran Indonesia Merdeka milik Perhimpunan Indonesia. Kemudian penggunaan secara nasional bersama-sama terucap dalam ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 hingga akhirnya Negara kita resmi bernama Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.


Sejarah nama Negara Indonesia

Penggunaan nama “Indonesia” pertama-tama digunakan secara geografis kemudian politis. Dalam penelitian etnografi, nama “Indonesia” sudah digunakan sejak pertengahan abad ke-19. Pada saat itu, muncul istilah “Indu-nesians”, “Malayunesian”, dan “Indonesia”. Semua istilah yang berkembang merujuk pada hal yang sama, yakni Kepulauan Indonesia secara geografis.


Pada abad ke-20, nama “Indonesia” digunakan tak hanya untuk menggambarkan wilayah geografis, tetapi juga bernuansa politis. Nama “Indonesia” digunakan sebagai nama organisasi pelajar dan mahasiswa yang lahir di Belanda, yakni Perhimpunan Indonesia.


Dalam perkembangannya, organisasi tersebut menjadi organ politik yang menyuarakan kemerdekaan. Selanjutnya, muncul beberapa organisasi yang juga memakai nama “Indonesia” dengan kesadaran politik untuk lepas dari penjajahan.

“Indonesia” secara geografis

Penggunaan nama “Indonesia” pertama kali muncul dari kalangan peneliti asing yang secara khusus melakukan penelitian etnografi. Nama ini menunjukkan bahwa Indonesia dikenal sebagai wilayah yang terdiri dari pulau-pulau yang saat itu bernama Hindia Belanda.


Nama Indonesia pertama kali disebut oleh George Samuel Windsor Earl pada tahun 1847 dalam tulisannya di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Dalam tulisannya yang berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”, Earl membahas kehidupan penduduk asli Australia dan Melayu-Polinesia.


Dia mengusulkan istilah ”Indu-nesians” dan “Malayunesians” bagi penduduk Kepulauan Hindia. Earl sendiri lebih menyukai istilah “Malayunesians” dibandingkan “Indu-nesians”. Menurut Earl, istilah “Indu-nesians” terlalu luas karena di dalamnya juga merujuk penduduk Sailan, Kepulauan Maladewa.


Pada tahun 1850, dalam majalah ilmiah yang sama, nama “Indonesia” juga disebut oleh James Richardson Logan dalam tulisannya yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Inquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders”. Logan merupakan peneliti berkebangsaan Skotlandia yang saat itu bekerja sebagai pegawai pemerintah Inggris. Dalam tulisannya, Logan lebih suka memakai istilah “Indonesia” yang merupakan sinonim dari pulau-pulau atau Kepulauan Hindia.


Majalah Kolonial Weekblad tahun 1924 juga pernah menyebutkan seorang Jerman yang bernama Adolf Bastian sebagai “penemu” nama Indonesia. Bastian menulis sebuah buku dalam bahasa Jerman yang berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels pada tahun 1884.


Buku tersebut berisi penelitian antropologis yang dilakukan Bastian di Hindia Belanda selama tahun 1864-1880. Bastian membagi buku ini dalam lima jilid yang mencatat berbagai etnis yang berada di wilayah Hindia. Istilah “Indonesia” digunakan untuk menunjuk pada Kepulauan Hindia. Bastian kemudian dianggap sebagai penemu nama Indonesia, seperti termuat dalam buku-buku pelajaran sekolah pada tahun 1970-an.


Dari Indische ke Indonesia

Pada tahun 1901, pemerintah kolonial Hindia Belanda menjalankan politik etis atau politik balas budi atas desakan dari tokoh-tokoh humanis dan sosial demokrat di Belanda. Dalam praktinya, pemerintah kolonial membuka kesempatan bagi bumiputra untuk mengenyam pendidikan baik dengan bersekolah di Hindia Belanda maupun mengirimnya ke Belanda.


Kebijakan tersebut menghasilkan elite baru bumiputra berpendidikan Barat. Elite baru inilah yang kerap kali berpikir kritis karena melihat realitas penderitaan yang dialami bangsanya atas tekanan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.


Para mahasiswa dari Hindia Belanda yang mengenyam pendidikan di Belanda menyadari bahwa mereka adalah perantau yang hidup di negeri orang. Hal ini membuat mereka perlu mendirikan sebuah perkumpulan untuk saling bertukar cerita mengenai tanah air yang mereka rindukan.


Perkumpulan ini kemudian terbentuk dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) yang didirikan oleh Sutan Kasayangan dan R.M. Noto Suroto pada tahun 1908.


Pendirian perkumpulan ini juga diilhami oleh pendirian Boedi Oetomo yang berkembang di Hindia. Namun, keanggotaan Indische Vereeniging tidak terbatas oleh etnis melainkan merangkul semua para mahasiswa bumiputra di Belanda.


Pada awal perkembangannya, Indische Vereeniging adalah sebuah perkumpulan yang bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan. Selanjutnya, organisasi tersebut semakin menjurus pada persoalan politik.


Perkembangan sifat politis organisasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari kedatangan para aktivis yang dibuang ke Belanda pada tahun 1913. Mereka adalah tiga serangkai, Soewardi Soeryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker yang sebelumnya mengkritik pemerintah Hindia Belanda lewat pendirian sebuah partai bernama Indische Partij.


Kedatangan mereka memberikan dampak pada sikap kritis para mahasiswa bumiputra di Belanda. Pengaruh tersebut salah satunya tersebar lewat kantor berita Indonesische Persbureau yang didirikan oleh Soewardi Soeryaningrat.


Kemunculan mahasiswa bumiputra yang berpikiran kritis, seperti Mohammad Hatta, membuat Indische Vereeniging semakin berani meyelenggarakan kegiatan politik. Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).

Perubahan nama ini juga mengubah sifat organisasi secara drastis. Organisasi yang dahulu didirikan hanya sekadar untuk perkumpulan sosial dan budaya berubah menjadi organisasi politik. Penggunaan kata “Indonesia” tidak lagi diartikan secara geografis, tetapi memiliki kekuatan politis.


Perubahan nama menjadi Indonesische Vereeniging juga dibarengi dengan langkah radikal yang dilakukan organisasi tersebut. Dalam sampul buku Gedenkboek Indonesische Vereeniging 1908-1923, ditampilkan bendera merah putih dengan gambar kepala banteng di tengahnya. Gambar ini menjadi simbol nasionalisme para mahasiswa Hindia yang berjuang di Belanda.


Pemilihan istilah “Indonesia” disebabkan karena mereka tidak ingin dikenal sebagai kelompok berdasarkan etnis, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, dan lain sebagainya. Mereka juga membenci penyebutan “inlander” oleh orang Belanda karena bernuansa merendahkan. Oleh karena itu, mereka menggunakan nama “Indonesia” yang menunjukkan bahwa mereka bukan bagian dari Hindia Belanda atau negara Belanda.


Dalam pernyataan asas yang disahkan pada 3 Maret 1923, pengurus Perhimpunan Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia dengan berlandaskan pada semangat nonkooperasi atau menolak bekerja sama dengan Belanda.


Di negeri Belanda inilah pertama kalinya gerakan nasionalisme radikal mengambil bentuk yang terorganisasi, mendahului perkembangan di Hindia Belanda.


Pada tahun 1924, nama Indonesische Vereeniging berganti menjadi Perhimpunan Indonesia, tidak lagi menggunakan bahasa Belanda. Hal ini semakin menguatkan perlawanan mereka dengan menolak segala bentuk nama Belanda.


Perhimpunan Indonesia menjadi sebuah organisasi yang semakin berani setelah kepengurusannya diperkuat oleh Iwa Koesoema Soemantri, J. Sinatala, Mohammad Hatta, Sastromoeljono, dan Mangoenkoesoemo.


Salah satu bentuk kekuatan yang cukup besar dalam menggaungkan perlawanan mereka adalah penerbitan majalah Hindia Poetra yang kemudian berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Nama majalah ini cukup berani mengingat majalah tersebut diterbitkan di Belanda. Majalah Indonesia Merdeka menjadi corong propaganda Perhimpunan Indonesia untuk melaporkan situasi politik di Hindia Belanda.


Dalam penerbitan tahun 1924, majalah Indonesia Merdeka menjelaskan kepada para pembacanya mengenai perubahan nama tersebut. Mereka menyebutkan bahwa pemakaian nama “Indonesia” memberikan ciri pada kepribadian. Mereka tidak memakai nama “India” karena rancu dengan wilayah India yang saat itu dikuasai oleh Inggris sehingga dapat menimbulkan persoalan.


Dengan kata ”merdeka”, anggota Perhimpunan Indonesia mengungkapkan tujuan dan usaha mereka untuk menciptakan Indonesia yang merdeka. Mereka menjelaskan bahwa setiap bangsa di dunia memiliki keinginan untuk merdeka dan bebas dari penjajahan. Gagasan inilah yang ingin dicapai Perhimpunan Indonesia dalam penggantian nama majalahnya.


Nama “Indonesia” semakin diperkenalkan di dunia internasional. Pada tahun 1926, Mohammad Hatta menghadiri Kongres Gerakan Perdamaian Internasional di Paris, Perancis. Lewat kongres tersebut, Hatta semakin meyakinkan dunia internasional mengenai keberadaan Indonesia baik secara geografis maupun secara politis.


Nama “Indonesia” berkumandang juga dalam Kongres Anti Penindasan Imperialisme dan Kolonialisme di Brussel, Belgia pada 10-15 Februari 1927. Nazir Datuk Pamuntjak perwakilan dari Perhimpunan Indonesia berpidato dengan judul “Indonesie en de Vrijheid-strijd” (Indonesia dalam Perjuangan Kemerdekaan).


Dalam surat kabar De Socialist Nomor 10 tahun 1928, Mohammad Hatta menulis sebuah artikel yang berjudul “Tentang Nama Indonesia” yang membahas tentang penggunaan nama “Indonesia” yang menggantikan nama “Hindia Belanda”.


”Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik, karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia Belanda, melainkan kemerdekaan ’Indonesia’ dari Indonesia (Indonesisch Indonesië). Mustahil negara Indonesia merdeka yang akan datang disebut ’Hindia Belanda’. Juga tidak India saja karena akan dikacaukan dengan ’India’ yang lain, yaitu nama resmi dari ’India Inggeris’ sekarang,” tulis Mohammad Hatta dalam artikel tersebut.

Istilah “Indonesia” di Hindia Belanda

Penggunaan nama “Indonesia” juga berkembang di Hindia Belanda. Buku Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia karangan J. Th. Petrus Blumberger yang terbit tahun 1931 mencatat, sejak tahun 1920-an berkembang organisasi nasional yang menggunakan nama “Indonesia”.


Penggunaan nama “Indonesia” bagi organisasi nasional di Hindia Belanda salah satunya didorong oleh kembalinya para aktivis mahasiswa yang dahulunya bergabung dalam Perhimpunan Indonesia.


Beberapa organisasi mengubah namanya, salah satunya Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) berubah menjadi Partai Komunis Indonesia pada tahun 1924. Selanjutnya, muncul banyak organisasi atau partai nasional yang menggunakan nama Indonesia, seperti Perserikatan Nasional Indonesia (1927) yang kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia (1928).


Selain penggunaan nama Indonesia, muncul juga perubahan sifat organisasi yang mulanya terbatas pada golongan tertentu (etnis maupun agama) menjadi terbuka bagi semua kalangan.


Kesadaran penggunaan nama “Indonesia” secara politis ini mencapai puncak dalam Kongres Pemuda II pada 27 – 28 Oktober 1928. Kongres tersebut menghasilkan rumusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, yakni pengakuan akan tumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

×
Artikel Terbaru Update