Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam hal sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, juga terdapat banyak perbedaan yang mendasar di antara keduanya.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Perbedaan
itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan
lingkungan kerja.
a.
Akad dan
Aspek Legalitas
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal
barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan
aka, seperti hal-hal berikut;
1) Rukun ;
(a) Penjual,
(b) Pembeli,
(c) Barang,
(d) Harga,
(e) Akad/ijab Kabul.
2) Syarat ;
a) Barang dan jasa harus
halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi
hukum syariah.
b) Harga barang dan jasa
harus jelas.
c) Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan
berdampak pada biaya transportasi.
d) Barang yang ditransaksikan
harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
b. Lembaga Penyelesai Sengketa
Berbeda dengan perbankan
konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan
antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di
peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Lembaga
yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia
dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang
didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis
Ulama Indonesia.
c. Struktur
Organisasi
Bank syariah dapat memiliki
struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan
direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank
konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas
mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis
syariah.
Dewan Pengawas Syariah
biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal
ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan Dewan Pengawas
Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah
dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas
Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
1. Dewan
Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama ulama dalam Dewan
Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar
selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena
transaksi-transaksi yang berlaku dalam dalam bank syariah sangat khusus jika
dibanding bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis
panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional.
Dewan Pengawas Syariah harus
membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang
diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini
dimuat dalam laporan tahunan (annual
report) bank bersangkutan.
Tugas lain Dewan Pengawas
Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang
diawasinya. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring
pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional.
2. Dewan
Syariah Nasional (DSN)
Dewan
Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi
Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini
merupakan lembaga otonom dibawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari
Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang
ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.
Fungsi
utama Dewan Pengawas Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga
keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Untuk keperluan pengawasan
tersebut, Dewan Pengawas Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah
yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam..
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan
memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan
syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah
direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan.
d.
Usaha
yang Dibiayai
Dalam
perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut :
1) Apakah
objek pembiayaan halal atau haram?
2) Apakah
proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3) Apakah
proyek berkaitan dengan perbuatan mesum / asusila?
4) Apakah
proyek berkaitan dengan perjudian?
5) Apakah
usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang illegal atau berorientasi pada
pengembangan senjata pembunuh massal?
6) Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam,
baik secara langsung maupun tidak langsung?
e.
Lingkungan
Kerja
Sebuah bank syariah
selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal
etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan
sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu,
karyawan bank syariah harus skillful
dan professional (fathanah), dan
mampu melakukan tugas secara team-work
dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment,
diperlukan prinsip keadilan yang sesuai syariah.
f.
Perbandingan
Antara Bank Syariah dan Konvensional
TABLE 1.3
PERBANDINGAN BANK SYARIAH DAN KONVENSIONAL
BANK
ISLAM
|
BANK
KONVENSIONAL
|
1. Melakukan
investasi-investasi yang halal saja.
2. Berdasarkan
prinsip bagi hasil, jual-beli, atau sewa.
3. Profit
dan falah oriented.
4. Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk kemitraan.
5. Penghimpunan
dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
|
Investasi
yang halal dan haram
Memakai
perangkat bunga
Profit
oriented
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor
Tidak
terdapat dewan sejenis.
|
Sumber : Bank Syariah dari Teori ke praktek,
(Antonio : 2001, 34)