Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik

Kamis, 19 Februari 2015 | 18:22 WIB Last Updated 2015-02-19T11:22:27Z
Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
            Pendidikan politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi Warga Negara  Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik. Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, mengatakan bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait keterwakilan perempuan bisa dilihat dari hasil pemilu 2009 dimana keterwakilan perempuan sudah meningkat dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih jauh ketimbang dari hasil keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus dilakukan pengawalan sejak tataran perumusan kebijakan, proses dan implementasinya, serta evaluasi dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu 2014, sampai kesetaraan dan keadilan partisipasi perempuan dalam politik yang terjadi, tidak dibutuhkan lagi. Sementara itu, perempuan yang dilibatkan di dunia politik seharusnya dapat mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya maupun di partai politik, namun pada faktanya, perempuan kini cenderung mudah dipengaruhi untuk menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan kurangnya pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum dapat dipahami secara penuh ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua persoalan tersebut adalah budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat. Di dalamnya terkandung makna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” hanya diartikan secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya. Keterwakilan perempuan adalah untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri karena mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam kerangka demokrasi yang representative, pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat. Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender.

Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik

            Pada dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh dengan kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan. Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini, publik akan memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan. Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang 30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut, seperti diamanatkan UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum ada affirmative action yang memberikan previlage tertentu, sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah menunjukkan keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%.
            Berdasarkan data tersebut di  atas, kurang adanya pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam proses politik, telah terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam perencanaan pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender mainstreaming tentang perempuan sebagai bagian dan sasaran dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan pendekatan “Women In Development Approach (WID)”. Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen pembangunan baik secara teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Adapun upaya–upaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”.  Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang laki–laki dan perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik. Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui Undang–Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984 melalui lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, sampai saat ini perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya diskriminasi secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini.
            Untuk itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU tentang pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan perihal affirmative action terhadap keterwakilan perempuan dengan memberikan previlage tertentu kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan adanya affirmative action, diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Kedua, diperlukan adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi perempuan secara terus menerus. Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum perempuan di bidang politik. Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga–lembaga lain, tentang unggulnya pemimpin politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriarki bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpim politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
            Kesimpulannya adalah di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.

Maka dari itu sebaiknya dalam mengupayakan kesetaraan gender di Indonesia, khususnya dalam dunia politik, perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua pihak yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi perempuan.
×
Artikel Terbaru Update