Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pendidikan
politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan
orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses
pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar dan menjunjung tinggi
akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan
bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini
ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara
peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran,
utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan
dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan
kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud
kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang
politik. Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan
pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang
sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik
perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan
pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif
yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini
perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu
ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga
dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka
diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi
yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative
Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di
semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat
persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan
dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat
untuk melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan
pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah,
penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk
mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui
peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan
dan pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras
memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah
minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.
Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, mengatakan
bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait keterwakilan perempuan bisa
dilihat dari hasil pemilu 2009 dimana keterwakilan perempuan sudah meningkat
dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih jauh ketimbang dari hasil
keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus dilakukan pengawalan
sejak tataran perumusan kebijakan, proses dan implementasinya, serta evaluasi
dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu 2014, sampai kesetaraan dan
keadilan partisipasi perempuan dalam politik yang terjadi, tidak dibutuhkan
lagi. Sementara itu, perempuan yang dilibatkan di dunia politik seharusnya
dapat mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya maupun di partai politik,
namun pada faktanya, perempuan kini cenderung mudah dipengaruhi untuk menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan
kurangnya pendidikan dasar dalam berpolitik yang belum dapat dipahami secara
penuh ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih
bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang
terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah
ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat
efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi
publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat
yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan
pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan
perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan
gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua persoalan tersebut adalah
budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan di semua bidang,
termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep
demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat.
Di dalamnya terkandung makna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian
partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” hanya diartikan
secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan
tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya. Keterwakilan perempuan adalah
untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan
oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa
kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan
sendiri karena mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam
kerangka demokrasi yang representative,
pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam
memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat. Mempertimbangkan
kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses
pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah
kesetaraan dan keadilan gender.
Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pada
dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik
dan keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh Undang-undang
No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008
tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh dengan kenyataannya. Walau
sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih
dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut hal
ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan
dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja
yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan. Merupakan fenomena baru dan
menyegarkan dalam perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam
tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan
peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya untuk
mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus
sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama
terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini, publik akan
memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu
yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan,
bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau
organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih
gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak
merealisasikan Undang-Undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan
perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih
sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam
lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu
kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perempuan masih
belum diperhitungkan. Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang
30% di parlemen saat pemilu 2009 tersebut, seperti diamanatkan UU No. 10 tahun
2008, walaupun belum ada affirmative
action yang memberikan previlage
tertentu, sehingga memberikan syarat yang lebih mudah bagi caleg perempuan dari
pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah menunjukkan
keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari
sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari
pada keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%.
Berdasarkan
data tersebut di atas, kurang adanya
pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam proses politik, telah
terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam
perencanaan pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender mainstreaming tentang perempuan
sebagai bagian dan sasaran dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan
pendekatan “Women In Development Approach
(WID)”. Hal ini dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum
diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen pembangunan baik secara teoritis
maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada
kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Adapun upaya–upaya untuk
mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis
perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”. Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan
dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi memandang laki–laki dan
perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses
kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik.
Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan
salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam
konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang
kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan pada tahun
1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui
Undang–Undang Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984
melalui lembar negara no. 29 tahun 1984. Meskipun demikian, sampai saat ini
perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal karena adanya
diskriminasi secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam kehidupan
masyarakat. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya
perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk
merubah dan melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini.
Untuk
itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan
politik, yakni pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU tentang
pemilu, pilkada, dan partai politik yang mencantumkan perihal affirmative action terhadap keterwakilan
perempuan dengan memberikan previlage tertentu kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan
adanya affirmative action, diharapkan
keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Kedua, diperlukan
adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi perempuan secara terus menerus.
Karena dengan adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum perempuan, maka
akan meningkatkan kompetensi dan daya saing kaum perempuan di bidang politik.
Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan pendidikan politik yang terus-menerus
kepada masyarakat luas, bisa dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, ormas,
ataupun oleh lembaga–lembaga lain, tentang unggulnya pemimpin politik
perempuan. Dengan usaha itu diharapkan akan memberikan perubahan pandangan
tentang budaya patriarki bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya
peminpim politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpim
politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan
semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa
segera dirasakan.
Kesimpulannya adalah di
Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak ada
habisnya dan masih berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif
maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup
substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Oleh
karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih
bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang
terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah
ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat
efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi
publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat
yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan
pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Untuk itu, diperlukan
berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik,
yang nantinya diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya
patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpin politik
perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya peminpin politik laki-laki.
Sehingga kesetaraan gender dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek
sampingnya untuk kemajuan usaha pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
Maka dari itu sebaiknya dalam mengupayakan kesetaraan
gender di Indonesia, khususnya dalam dunia politik, perlu adanya upaya yang
sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua pihak yang menjadi
pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan
pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik
bagi perempuan.