Batu Ballah Batu Betangkup, Tanjung Batu Pemangkat |
DP 2, Pantai Tanjung Batu Kecamatan Pemangkat. Foto: Irwan Sahaja |
Cerita ini merupakan cerita turun temurun dari masyarakat Pemangkat di wilayah Kabupaten Sambas. Mempunyai nilai moral yang tinggi, sebagai cara untuk mendidik generasi selanjutnya yaitu sebuah ajaran agar anak selalu patuh akan perintah orang tua, pentingnya sebuah janji dan berani bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.
Kisah ini bermula disebuah lokasi di daerah pantai Kota Pemangkat, tepat di kawasan Tanjung Batu. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah nelayan. Di antara banyaknya masyarakat, pada zaman itu, terdapat sebuah keluarga kecil yang hidup dibawah garis kemiskinan. Tulang punggung keluarga itu adalah seorang wanita balu. Ia dikenal dengan panggilan “ Mak Risah”. Ia harus bertahan hidup dan menghidupi kedua anaknya. Anak pertamanya bernama Long (panggilan untuk anak tertua) Ijun dan Anak keduanya bernama Su (panggilan untuk anak terakhir) Pisok. Mak Risah tinggal jauh dari keramaian, tinggal disebuah gubuk peninggalan suaminya yang sudah reot.
Untuk menghidupi kedua anaknya, Mak Risah harus membanting tulang setiap harinya. Meski sudah bekerja keras, masih saja selalu kurang hingga terkadang ia mengeluh. Ketika ingat kedua anaknya, ia tidak berani lagi untuk berkeluh kesah, karena tidak tahan melihat bayangan anak-anaknya yang kelaparan dibenaknya. Pekerjaannya sehari-hari Mak Risah adalah mengumpulkan kayu api di hutan dan membantu warga sekitar jikan ada yang membutuhkan tenaganya.
Hari itu, ia hanya mendapatkan sedikit kayu api, hanya cukup untuk membeli garam jika dijual. Ia tetap tersenyum dan setelah lelah mencari kayu api di hutan dan menjualnya, Mak Risah kemudian pulang kerumah. Hari sudah agak tinggi, ia pun pergi ke pantai untuk mencari makanan untuk keluarga kecilnya. Setiap sebelum pergi kemanapun Mak Risah selalu berpesan pada Long Ijun agar senantiasa menjaga adiknya.
Sesampainya di pantai, Mak Risah bergegas mencari kesana kemari, mencari Ikan yang bisa berjalan dipantai yang penuh lumpur dengan sirip dan ekornya. Ikan itu hidup di dua alam seperti katak, bentuknya mirip ikan gabus tapi mempunyai mata yang besar menjorok ke luar mirip mata iguana. Orang setempat menyebutnya ikan Tembakul untuk berukuran besar dan Ikan Nengok untuk yang berukuran kecil (biasa hidup di air payau berlumpur). Mak Risah dan anak-anaknya sangat gemar menikmati telur ikan tembakul. Kebetulan banyak sekali ikan Tembakul hari itu namun hanya sedikit yang bertelur. Tidak lama kemudian Mak Risah, sudah mendapat ikan tembakul yang bertelur cukup untuk makan siang keluarganya hari ini. Kemudian pulanglah mak Risah ke pondok yang reot, dan memulai membersihkan ikan tembakul untuk diambil telurnya. Saat ingin membuat bumbu untuk merebus telur, ternyata bahannya seperti kunyit dan jahe sudah habis. Biasanya Long ijun yang mengambil kunyit dan jahe di kebun belakang rumah, mungkin asyik bermain dengan adiknya hiangga ia lupa mengambilnya. Ia pun merebus telur tembakul hanya dengan garam. Mak Risah pun memanggil anak-anaknya.
“Long, Su, kesitog bantar. Umak nak bepadah, pegi ngambek kunyit untuk bumbu ngan kayu api dolok, mane kayu api kite dah maok abis juak,” kata Mak Risah pada kedua anaknya.
(Long, Su, kesini bentar. Ibu mau bilang, kalau ibu pergi mengambil kunyit untuk bumbu dan Kayu Api dulu. Kayu api kita sudah mau habis)
“ Iye mak, kamek nungguek rabusan tallok tog ajak,” kata Long Ijun.
(Iya ibu, kami menunggu rebusan telur ini saja)
“Aoglah, jage adekmu ye, usah dimakan dolok tallok iye ie, nunggu umak dolok daan berampah ye rabusannye, Janji ie usah makan dolok,” pinta Mak Risah pada ke dua anaknye.
(Iya, jaga adikmu. Jangan dimakan dulu telurnya ya. Tunggu ibu pulang. Rebusan belum ibu kasih rempah. Janji ya, jangan dimakan dulu)
“ Iye mak, umak pegi udahlah! Kelak kelama’an, kamek dah lapar,” kata kedua anaknya.
(Iya Ibu, Ibu pergilah! Nanti takut semakin lama, kami sudah lapar)
Mak Risah pun pergi ke belakang rumahnya untuk mengambil kunyit dan mengambil kayu di di dalam hutan. Karena sulit mencari kayu bakar, Mak Risah agak lama kembali ke rumah. Ia dan anak-anaknya belum memakan apapun dari pagi, hanya minum air untuk mengurangi rasa lapar mereka.
Tidak lama setelah ibunya pergi, Su Pisok pun minta makan karena lapar dan belum sempat menyusu pada ibunya. Ia meminta dengan kakaknya Long Ijun sambil menangis. Long Ijun ingat pesan ibunya sebab telur belum diberi rempah dan ingat akan janjinya.
Hari sudah sangat tinggi, Mak Risah yang ditunggu-tunggu belum pulang juga ditambah adiknya tak menangis meraung-meraung, ibalah hatinya. Lagi pula apalah dayanya. Ia hanya seorang gadis kecil yang tidak dapat berbuat banyak. Tambahan lagi perutnya sendiri terasa sakit melilit. Long Ijun pun mengambil sebuah pirin dan sendok dan mengambil telur yang masih direbus di dalam panci. Ia mengambil sedikit untuk adiknya, agar adiknya diam. Tak terasa air liur mengaliri rongga mulutnya di tambah perut keroncongan saat mecium aroma telur dan melihat telur tembakul yang sudah matang. Bergegas Long Ijun pun mengambil piring dan sendok mengambil kembali telur di panci. Saking lapar dan nikmatnya telur tembakul, habislah telur tembakul dimakan oleh Long Ijun dan Su Pisok tanpa meninggalkan sedikitpun untuk ibunya.
Long Ijun lupa akan pesan dan janji pada ibunya, akibat kelaparan, iba melihat adiknya serta sudah tidak mampu berbuat banyak. Selesai makan keduanya pun mengantuk lalu tertidur. Sepulangnya Mak Risah dari mencari kayu dan rempah, betapa ia sangat terkejut melihat telur tembakul yang tidak lagi bersisa.
“Sampai hati kau Jun, Mak tidak disisakan sedikitpun,” katanya mengeluh sambil duduk berpangku tangan di bendul pintu.
“Su Pisok menangis terus Mak. Sejak pagi kelaparan susu. Ijun pun juga lapar sekali, sedari pagi belum merasakan apa-apa,” kata Long Ijun
“Mak mengira sepulang mencari kayu, kita makan bersam-sama,” kata Mak Risah lagi
Long Ijun sedih sekali mendengarkan ucapan ibunya dan tertunduk pilu sambil mengusap adiknya.
“Sekarang apa yang harus dimasak maknya lagi, telurTembakul sudah habis. Hendak mencari lagi, air laut sudah pasang dan ikan Timbakul sudah pergi ketempat yang jauh mencari pantai yang berlumpur yang lain,” keluh Mak Isah.
“ Maafkanlah kami Mak, kami telah berdosa,” kata Long Ijun.
Mak Risah menangis pilu, sedih sekali. “Sudahlah Jun, mak sudah kemponan,” katanya teramat sedih karena keinginan dan harapannya telah putus sehingga kempunan.
Ia bangkit perlahan, kemudian berjalan lamban menuju pantai. Jalanya kemudian semakin cepat, akhirnya ia meraung, menangis sambil berlari. Ia menuju batu keramat yang terletak di Tanjung Batu. Sesampainya dimulut Batu Ballah ia pun memohon,:
Batu Ballah, BatuBetangkup,Brrrr..prakkk...bunyi Batu Ballah membelah diri dan membuka ruang. Mak Isah pun masuk dan Batu Ballah pun menangkup (mengepit) kedua kaki Mak Risah. Mendengar permintan Ibunya itu Long Ijun pun menangis sambil berlari menggendong Pisok yang juga menangis.
Tangkupkan aku, Anggan kakiku,
Aku kemponan, Tallor Timbakul.
“Oh Mak, Balik Uddek, Hari dah malam, Adek nak nyussu,” kata Long Ijun
“Tidak, aku tidak mau pulang, kamu berdua jahat, tak sayang dengan mak “jawab Mak Risah sementara kedua kakinya sudah tertangkup Batu Ballah, lalu ia memohon lagi.
“Batu Ballah, Batu Betangkup,Demikianlah seterusnya sehingga ditangkup bagian perutnya, lalu lehernya. Melihat itu Long Ijun memberanikan diri menyelamatkan maknya, tapi terlambat. Yang didapatkannya hanyalah rambut maknya yang panjang terjurai.
Tangkupkan aku, Anggan parrutku
Aku kemponan, Tallor Timbakol.
“Oh..Mak, Oh..Mak Tungulah kami. Tega nian mak tinggalkan kami, adik kecil kelaparan susu. Oh.. Mak,Oh.. Mak. Hari sudah malam, pulanglah mak,” jerit pilu Long Ijun.
Tapi mak Risah sudah tak bisa mendengar lagi, karena seluruh tubuhnya sudah berada di dalam batu ballah, yang hanya tinggal sebagian rambut yang terurai. Hingga kini kisah ini diceritakan turun temurun dan kisah ini juga sudah ada versi komiknya yang dibuat oleh Yoyok anak Pemangkat.