BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, dan memiliki peranan yang besar dalam
mensukseskan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah beserta
unsur-unsur yang berkompoten di dalamnya harus benar-benar memperbaiki
perkembangan serta kemajuan pendidikan di Indonesia. Dalam upaya
pengembangan pendidikan tersebut pemerintah mengeluarkan Kurikulum
Nasional 2006 yang mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Pengembangan kurikulum ini merupakan salah satu upaya untuk
memperbaiki sistem pendidikan nasional dalam konteks untuk mewujudkan masyarakat
yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang masih
dan akan terus berlangsung. Implikasinya, sejalan dengan adanya usaha
penyempurnaan kurikulum tersebut, paradigma pembelajaran matematika pun perlu
diperbaiki supaya lebih bermakna dan sesuai dengan tuntutan kurikulum.
1
|
Matematika
adalah salah satu dasar penguasaan ilmu dan teknologi, baik aspek terapannya
maupun aspek penalarannya. Salah satu ciri utama matematika adalah penggunaan
simbol-simbol. Untuk
menyatakan sesuatu misalnya menyatakan suatu fakta, konsep operasi ataupun
prinsip/aturan. Dengan simbol-simbol yang terkandung didalamnya itu sehingga
mampulah matematika bertindak sebagai bahan keilmuan. Penguasaan
matematika harus lebih mengarah pada pemahaman matematika yang dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Ada dua hal yang mendukung arah penguasaan
matematika untuk anak didik sekarang ini, yaitu: (1) Matematika diperlukan
sebagai alat bantu untuk memahami terjadinya peristiwa-peristiwa alam dan sosial,
(2) Matematika telah memiliki semua kegiatan manusia, baik untuk keperluan
sehari-hari maupun keperluan profesional ( Abdullah,2008).
Jenning dan Dunne
(abdullah,2008) mengatakan bahwa, pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam
mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal lain yang
menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran
matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajaran di kelas tidak mengaitkan
dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa-siswa kurang diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali dan mengkonstruksikan sendiri ide-ide matematika,
sehingga anak cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika.
Sebagai tenaga
pengajar/pendidik yang secara langsung terlibat dalam proses belajar mengajar,
maka guru memegang peranan penting dalam menentukan peningkatan kualitas
pembelajaran dan prestasi belajar yang akan dicapai siswanya. Salah satu
kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh pendidik dalam hal ini adalah bagaimana
mengajarkan matematika dengan baik agar tujuan pengajaran dapat dicapai
semaksimal mungkin. Dalam hal ini penguasaan materi dan cara pemilihan
pendekatan atau teknik pembelajaran yang sesuai dengan menentukan tercapainya
tujuan pengajaran. Demikian juga halnya dengan proses pembelajaran. Untuk
mencapai tujuan pembelajaran, perlu disusun suatu strategi agar tujuan itu
tercapai dengan optimal. Tanpa suatu strategi yang cocok, model
yang tepat dan jitu, tidak mungkin tujuan dapat tercapai (Abdullah,2008).
Karena
pentingnya peranan matematika dan peranan guru,
berbagai usaha telah dilakukan kearah peningkatan hasil belajar dalam proses
belajar matematika. Salah satunya adalah dengan menggunakan berbagai macam
model pembelajaran matematika. Namun sampai saat ini masih banyak keluhan dari berbagai
pihak tentang rendahnya kualitas pendidikan pada umumnya dan pendidikan
matematika pada khususnya.
Berbagai
model pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru pada umumnya untuk membantu siswa agar
mampu memahami dan mengerti apa yang dipelajarinya. Sebagai upaya
meningkatkan hasil belajar siswa, salah satu model pembelajaran yang
menjadi alternatif adalah dengan menggunakan atau menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD.
Model pembelajaran
kooperatif merupakan suatu model pengajaran dimana siswa belajar dalam kelompok
kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan
tugas kelompok, setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk memahami
suatu bahan pembelajaran.
Terdapat beberapa penelitian yang menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD yang hasilnyamenunjukkan
bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat baik diterapkan di kelas.
Dari
hasil yang di dapatkan pada tahun pelajaran 2009/2010 bahwa nilai matematika
peserta didik kelas V SD masih dibawa KKM yang telah ditentukan, ini dapat
dilihat dari nilai rata-rata kelas tes awal yaitu 59,60. Karena metode dan
teknik yang digunakan cenderung mototon kepada murid, dimana guru aktif
menyampaikan informasi dan murid pasif menerima. Kesempatan bagi murid untuk
melakukan refleksi melalui interaksi antara murid dengan murid, dan murid
dengan guru kurang dikembangkan. Dengan pembelajaran tersebut murid tidak
mendapat kesempatan untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan berbagai
alternatif pemecahan masalah, tetapi mereka menjadi sangat tergantung pada
guru, tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai
menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien. Diduga salah satu
faktor yang menyebabkan kondisi tersebut adalah kurang
tepatnya model pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Beranjak
dari latar belakang diatas, maka penulis mengadakan penelitian untuk melihat
sejauh mana hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe
STAD. Dengan menggunakan model pembelajaran ini, diharapkan dapat meningkatkan
hasil belajar siswa pada pelajaran matematika khususnya pada
materi penjumlahan pecahan.
B. Permasalahan
1. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebuah masalah sebagai berikut :”Apakah
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar
matematika pada materi penjumlahan pecahan siswa kelas V SD Kecamatan
Bontomarannu Kabupaten Gowa.”
2. Pemecahan Masalah
Agar
sasaran penelitian ini dapat tercapai, maka dalam
mengatasi permasalahan yang telah dikemukakan di atas, perlu dilakukan suatu proses tindakan dalam pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada siswa kelas V
SD Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa.
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan
permasalahan di atas maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui sejauhmana peningkatanhasil
belajar siswa pada materi penjumlahan pecahan dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas V SD Kecamatan
Bontomarannu Kabupaten Gowa.
D. Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi siswa : Hasil belajar
siswa meningkat khususnya pada materi penjuumlahan pecahan karena menjadikan matematika sebagai aktivitas sehari-hari dan tidak lagi dianggap
sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan.
2. Bagi guru : Sebagai masukan, strategi dan solusi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui model
pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3. Bagi sekolah : Sebagai bahan pertimbangan agar model
pembelajaran ini diterapkan dalam proses belajar mengajar
di kelas pada semua bidang studi, mengingat model pembelajaran kooperatif
tipe STAD ini sejalan dengan KTSP
E. Defenisi
operasional
Hasil belajar matematika adalah suatu
hasil yang dicapai oleh siswa setelah mempelajari matematika dalam kurun waktu
tertentu, yang diukur dengan menggunakan alat evaluasi tertentu (tes).
Pembelajaran kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Division) adalah
suatu model pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antara siswa. Siswa
dibagi kedalam beberapa kelompok secara heterogen.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Model Pembelajaran
Model pembelajaran
kooperatif merupakan suatu model pengajaran dimana siswa belajar dalam kelompok
kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan
tugas kelompok, setiap anggota saling kerjasama dan membantu untuk memahami
suatu bahan pembelajaran.
Model pembelajaran
kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kooperatif kontruktivis. Hal
ini terlihat pada salah satu teori Vigotsky yaitu penekanan pada hakikat
sosiokultural dari pembelajaran Vigotsky yakni bahwa fase mental yang lebih
tinggi pada umumnya muncul pada percakapan atau kerjasama antara individu sebelum
fungsi mental yang lebih tinggi terserap dalam individu tersebut. Implikasi
dari teori vigotsky dikehendakinya susunan kelas berbentuk kooperatif.
Model Pembelajaran
kooperatif sangat berbeda dengan model pengajaran langsung. Di samping model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik,
model pembelajaran kooperatif juga efektif untuk rnengembangkan keterampilan
sosial siswa. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalarn membantu
siswa memahami konsep konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah
menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik, dan perubahan norma yang
berhubungan dengan hasil belajar. Dalam banyak kasus, norma budaya anak muda
sebenarnya tidak menyukai siswa siswa yang ingin menonjol secara akademis.
Robert Slavin dan pakar lain telah berusaha untuk mengubah norma ini rnelalui
penggunaan pembelajaran kooperatif.
Di samping mengubah
norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat
memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas kerja
bersama menyelesaikan tugas tugas akademik, siswa kelompok atas akan menjadi
tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi memperoleh bantuan khusus dari teman
sebaya, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dalam proses tutorial
ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemapuan akademiknya karena memberi
pelayanan sebagai tutor rnembutuhkan pemikiran lebih dalam tentang hubungan ide
ide yang terdapat di dalam materi tertentu.
Tujuan penting lain
dari pembelajaran kooperatif adalah untuk rnengajarkan kepada siswa
keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk
dimiliki di dalam masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar
dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung sama lain dan di mana
masyarakat secara budaya semakin beragam. Sementara itu, banyak anak muda dan
orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan
dengan begitu sering pertikaian kecil antara individu dapat mengakibatkan
tindak kekerasan atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada sa at
diminta untuk bekeda dalarn situasi kooperatif.
Dalam pembelajaran
kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja. Namun siswa juga harus
mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan
kooperatif. keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan,
kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat di bangun dengian mengembangkan
komunikasi antar anggota kelompok sedangkan peranan tugas dilakukan dengan
membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan.
Menurut Lundgren (Sukarmin, 2002:2), Unsur-unsur dasar yang
perlu
ditanamkan pada diri siswa agar cooperative
learning lebih efektif
adalah
sebagai berikut :
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau
berenang bersama”
b. Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam,
disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki
tujuan yang sama.
d. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama
besarnya diantara anggota kelompok.
e. Para siswa akan diberikan suatu evaluasi atau penghargaan yang akan
ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota
kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar.
g. Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Sementara itu, menurut Nur (2001: 3) pembelajaran yang menggunakan
model cooperative learning pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif umtuk menuntaskan
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang dan rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, bangsa, suku,
dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu.
3.
Model Cooperative Learning
Pembelajaran
kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Division) adalah suatu model
pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antara siswa. Siswa dibagi
kedalam beberapa kelompok secara heterogen.
Berikut ini model pembelajaran yang dapat mewakili
model-model
cooperative
learning :
a. Student teams achievement division (STAD)
Langkah-langkah:
1)
Membentuk kelompok yang anggotanya ± 4 orang.
2) Guru
menyajikan materi pelajaran.
3) Guru memberi tugas untuk dikerjakan, anggota kelompok yang mengetahui
jawabannya memberikan penjelasan kepada anggota kelompok.
4) Guru memberikan pertanyaan/kuis dan siswa menjawab pertanyaan/kuis
dengan tidak saling membantu.
5) Guru memberikan kesimpulan
Keterampilan keterampilan
kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut ( Lundgren, 1994)
1. Keterampilan
kooperatif tingkat awal
Meliputi: (a) menggunakan kesepakatan;
(b) menghargai kontribusi; (c) mengambil giliran dan berbagi tugas; (d) berada
dalam kelompok; (e) berada dalam tugas; (f) mendorong partisipasi; (g)
mengundang orang lain untuk berbicara; (h) menyelesaikan tugas pada waktunya;
dan (i) menghormati perbedaan individu.
2. Keterampilan
kooperatif tingkat menengah
Meliputi: (a) menunjukkan penghargaan
dan simpati; ( b) mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat
diterima; (c) mendengarkan dengan aktif; (d) bertanya; (e) membuat ringkasan;
(f) menafsirkan; (g) mengatur dan mengorganisir; (h) menerima, tanggung jawab;
(i) mengurangi ketegangan
3. Keterampilan
kooperatif tingkat mahir
Meliputi: (a) mengelaborasi; (b)
memeriksa dengan cermat; (c) menanyakan kebenaran; (d) menetapkan tujuan; (e)
berkompromi
4. Tingkah Laku mengajar
( Sintaks)
Terdapat enam langkah utama atau tahapan
di dalam pelajaran yang menggunakan pembeiajaran kooperatif, pelajaran di mulai
dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa belajar. Fase
ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada
secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim tim belajar. Tahap
ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan
tugas bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentase
hasil akhir kerja kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka
pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha usaha kelompok maupun individu.
B. Hasil Belajar
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, hasil adalah sesuatu yang di dapat dari jeri payah yang
dilakukan, sedangkan belajar adalah berusaha untuk memperoleh ilmu atau
menguasai suatu keterampilan.
Menurut Skinner,
belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus terukur. Bila
pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila
tidak belajar maka responpun berkurang, sehingga secara formal hasil belajar
harus bisa diamati dan diukur.
Menurut Gagne (1972)
belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk
mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah
hasil dari efek belajar yang kumulatif (Gagne, 1968). Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak
dapat didefenisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.
Gagne (1972)
mendefenisikan belajar adalah mekanisme dimana seseorang menjadi anggota
masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi skill,
pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia
sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang
selanjutnya disebut kapasitas (outcome).
Menurut Piaget
pengetahuan (knowledge) adalah interaksi yang terus-menerus antara individu
dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan
secara alami pembelajar mulai anak-anak sampai dewasa.
C. Pembelajaran
Matematika
1. Penjumlahan pecahan
yang berpenyebut sama
Kata pecahan berarti
bagian dari keseluruhan yang berukuran sama berasal dari bahasa Latin
fractioyang berarti memecah menjadi bagian‐bagian yang lebih kecil.
Sebuah pecahan
mempunyai 2 bagian yaitu pembilang dan penyebut yang penulisannya dipisahkan
olehgaris lurus dan bukan miring
=
penjumlahan
pecahan berpenyebut sama dapat diperoleh hasilnya dengan menjumlah pembilangnya,
sedangkan penyebutnya tetap.
Contoh penjumlahan
berpenyebut sama :
1.
+ = = 1
2. 3 + 4 = 7
2. Penjumlahan Pecahan
Berpenyebut Beda
penjumlahan
pecahan berpenyebut beda/tidak sama dapat diperoleh hasilnya dengan
menyamakan penyebutnya terlebih dahulu.
Untuk mempelajari
materi penjumlahan pecahan berbeda penyebut, ada beberapa syarat yang harus
dikuasai siswa, antara lain:
• Penjumlahan pecahan
berpenyebut sama
• Pecahan Senilai
• KPK
Kunci untuk menentukan penyebut
persekutuan dari penjumlahan beberapa pecahan berbeda penyebut adalah:
1. Bila masing-masing
penyebut merupakan bilangan prima, misal 2, dan 5. maka
penyebut persekutuannya adalahperkalian dari ke tiga bilangan tersebut,
yaitu 2 x 5 = 10
2. Bila penyebut yang
satu merupakan kelipatan dari penyebut yang lain atau penyebut yang satu dapat
dibagi oleh penyebut yang lain, misal 2,4 dan 8. Maka penyebut
persekutuannya adalah penyebut yang paling besar. Karena 8 dapat dibagi 2 dan 8
dapat dibagi 4.
3. Bila penyebut dari
masing-masing pecahan yang dijumlah tidak memenuhi
kedua persyaratan diatas, maka kita menggunakan pendekatan KPK, baik
dengan menggunakan pohon faktor atau melipatkan
bilangan itu sendiri.
Contoh soal penjumlahan pecahan yang
berpenyebut beda :
1.
+ = = = = =
2. 2 + 3 = (2 + 3)
+ + ) = 5 = 5 + 1 =
BAB
III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas (Classroom Action Researh). Tindakan yang
diberikan adalah proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD yang dibagi dalam dua siklus dengan empat tahapan, yaitu
(a) perencanaan tindakan, (b) pelaksanaan tindakan,
(c) observasi dan evaluasi dan (d) refleksi
.
B. Lokasi dan Subjek
Penelitian
Penelitian ini
berlokasi di SD kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa dengan subjek penelitian
adalah Siswa kelas V dengan jumlah siswa 25 orang yang terdiri dari
: laki-laki 12 orang dan perempuan 13 orang pada semester ganjil
tahun ajaran 2010/2011.
C. Faktor yang
Diteliti
Hal-hal yang ingin
dikumpulkan sebagai data dasar yang selanjutnya dianalisis adalah:
1. Faktor input : Melihat kehadiran,kerjasama siswa,
keaktifan siswa serta kemampuan siswa dalam menjawab soal pada materi
penjumlahan pecahan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
2.
Faktor Proses :
Melihat bagaimana proses belajar mengajar melalui model pembelajaran tipe STAD
baik itu interaksi antara siswa dan guru maupun antara siswa dengan siswa
lainnya, mengecek pemahaman mengenai materi yang telah diberikan dan memberikan
pertanyaan berupa soal-soal pada akhir pertemuan mengenai materi yang telah
diberikan dan dijawab oleh siswa serta adanya umpan balik agar siswa
benar-benar mengerti dan memahami apa yang telah dipelajari dengan menerapkan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3. Faktor Output : Melihat bagaimana pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran cooperatipe STAD pada pelajaran matematika mampu
meningkatkan hasil belajar siswa yang diperoleh dari setiap siklus yang
dilakukan.
D. Rencana Tindakan
Penelitian
tindakan ini direncanakan terdiri dari dua siklus. Kedua siklus ini merupakan
rangkaian kegiatan yang saling berkaitan, artinya pelaksanaan siklus II
merupakan lanjutan dan perbaikan berdasarkan refleksi dari siklus I.
Siklus
I dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan dan Siklus II dilaksanakan sebanyak 2
kali pertemuan. Untuk dapat mengetahui hasil belajar matematika siswa kelas V
SD maka sebelumnya diberikan tes awal dan hasilnya dijadikan sebagai skor
dasar. Setelah itu barulah dilakukan proses pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Secara
rinci kedua siklus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Siklus I
Sesuai
dengan kriteria penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research),
maka pelaksanaan siklus I ini dibagi 2 tahap yaitu (a)
perencanaan tindakan atau rancangan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan
(acting), (c) observasi dan evaluasi dan (d) refleksi (reflecting).
1. Tahap perencanaan
Tahap
perencanaan yang dilakukan pada siklus I ini adalah sebagai berikut:
a. Menelaah kurikulum SD kelas V pada mata
pelajaran matematika.
b. Membuat model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Menyatakan kegiatan atau topik utama pembelajaran yang
diberikan, berupa standar kompetensi, kompetensi dasar, kelas/semester dan
alokasi waktu.
2) Menyatakan tujuan umum pembelajaran (indikator
pencapaian hasil belajar).
3) Merinci media untuk mendukung pembelajaran atau topik
tersebut. Dalam hal ini media yang akan digunakan adalah media LCD yang isinya
mencakup materi yang akan disajikan.
4) Membuat skenario pembelajaran atau Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
c. Menyiapkan media /alat bantu yang digunakan dalam
pembelajaran.
d. Menyiapkan pembentukan kelompok-kelompok kecil untuk
kerja kelompok, dengan menggunakan model pembelajaran tipe STAD. Pada
pembentukan kelompok siswa dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok
terdiri dari 6-7 orang, yang dibagi berdasarkan nomor urut absen.
e. Membuat pedoman observasi untuk merekam proses
pembelajaran dikelas.
f. Membuat soal-soal yang disusun berdasarkan materi
–materi yang telah diajarkan.
2. Tahap tindakan
Kegiatan
yang dilaksanakan pada tahap ini adalah kegiatan belajar mengajar dan
mengimplementasikan soal-soal yang telah dipersiapkan, baik dalam proses
belajar mengajar di kelas maupun pada pemberian tugas kurikuler.
Gambaran
umum yang dilakukan adalah :
a. Pada awal setiap pertemuan, hal yang pertama dilakukan
adalah memberikan penjelasan singkat tentang materi yang dipelajari
dengan mengkaitkan dengan kehidupan nyata siswa atau kehidupan sehari-hari
serta memperlihatkan gambar yang ada di LCD.
b. Setelah guru menjelaskan, siswa diberikan tugas sesuai
dengan bahan yang telah dikembangkan, baik secara individual maupun secara
kelompok. Pada pembentukan kelompok siswa dibagi menjadi 4 kelompok,
masing-masing kelompok terdiri dari 6-7 orang yang dibagi berdasarkan
nomor urut absen.
c. Tiap pertemuan guru mencatat semua kejadian yang
dianggap penting seperti kehadiran siswa, keaktifan dalam mengerjakan
tugas, bertanya, memberikan tanggapan, serta keseriusan dalam kerjasama dengan
kelompoknya.
d. Memberi tes akhir siklus I
e. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa,
dengan berbagai cara seperti pengukuran proses bekerja, hasil karya,
penampilan, PR, kuis, hasil tes tulis dan demonstrasi.
3. Tahap observasi dan Evaluasi
Pada
tahap penulis melakukan observasi terhadap pelaksanaan tindakan dengan
menggunakan lembar observasi yang telah dibuat serta melaksanakan evaluasi.
Observasi dilaksanakan pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Data
hasil observasi yang meliputi kehadiran siswa, kerjasama, keaktifan siswa baik
dalam bertanya atau memberi tanggapan, menjawab pertanyaan guru atau teman,
mengerjakan tugas, tampil menyelesaikan soal latihan di papan tulis dengan
benar, siswa yang melakukan kegiatan diluar proses belajar mengajar, siswa yang
memerlukan bimbingan dalam mengerjakan soal, siswa yang meminta untuk
dijelaskan kembali konsep yang telah dibahas dan kerjasama dengan kelompoknya.
Evaluasi
selanjutnya dilaksanakan pada akhir siklus I dengan memberikan tes tertulis.
Hal ini dimaksudkan untuk mengukur hasil belajar siswa terhadap materi yang
telah diperoleh selama siklus I berlangsung.
4. Tahap Refleksi
Data
yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi dikumpulkan dan dianalisis.
Dari analisis tersebut peneliti merekfleksi diri dan melihat kegiatan-kegiatan
yang telah dilakukan apakah berhasil atau tidak. Adapun hal-hal yang sudah baik
agar tetap dipertahankan sedangakan yang belum berhasil ditindaklanjuti pada
siklus berikutnya.
SIKLUS II
Siklus
dilaksanakan sebanyak empat kali pertemuan. Pada dasarnya hal yang dilakukan
pada siklus II ini adalah mengulangi tahap-tahap yang dilaksanakan pada siklus
I. Disamping itu akan dilaksankan juga sejumlah rencana baru untuk memperbaiki,
merancang tindakan baru sesuai dengan pengalaman dari hasil refleksi yang
diperoleh pada siklus I.
E. Teknik Pengumpulan Data
Adapun
teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Data mengenai tingkat
hasil belajar siswa terhadap materi pelajaran setelah diadakan tindakan,
dikumpulkan dengan menggunakan tes pada akhir setiap siklus dalam bentuk
ulangan harian.
2. Data mengenai proses
belajar mengajar dalam hal kehadiran dan keaktifan siswa untuk tiap pertemuaan
diambil dengan menggunakan lembar observasi.
F. Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan
dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
Untuk analisis secara kuantitatif digunakan statistik deskripsi yaitu skor
rata-rata dan persentase. Selain itu ditentukan pula standar deviasi, tabel
frekuensi, nilai minimum, dan maksimum yang diperoleh dari setiap siklus.
Adapun untuk
keperluan analisis penguasaan siswa digunakan standar KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal ) yaitu 60
1. Tingkat penguasaan
< 60 dikategorikan ”tidak tercapai”.
2. Tingkat penguasaan =
60 dikategorikan ” tercapai”.
3. Tingkat penguasaan
> 60 dikategorikan ”terlampaui”.
Untuk menganalisis
data hasil observasi digunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Kriteria
penilaian pada data observasi yaitu kehadiran, menanggapi pertanyaan
guru, pertanyaan teman, mengajukan pertanyaan, kerjasama dengan kelompok,
membuat kesimpulan, dan mengumpulkan tugas.
G. Indikator Kinerja
Kriteria keberhasilan
penelitian tindakan kelas ini adalah apabila terjadi peningkatan hasil belajar
siswa kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa, terhadap bahan ajar
setelah diberikan pembelajaran dengan menggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD, baik ditinjau dari hasil tes setiap akhir siklus maupun dari data
hasil observasi dalam mengikuti proses pembelajaran
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada
bab ini penulis membahas tentang hasil-hasil penelitian, data-data hasil
penelitian yang diperoleh, dianalisis dan dibahas.
Adapun
yang dianalisis adalah deskriptif mengenai perubahan hasil belajar siswa
setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD pada siklus I dan siklus II berdasarkan hasil tes pada tiap akhir
siklus. Disamping itu akan dianalisis pula refleksi terhadap pelaksanaan
tindakan dalam proses belajar mengajar matematika dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pada tahap ini pula penulis menganalisis
perubahan sikap siswa berdasarkan hasil pengamatan dan observasi maupun
refleksi.
A. Analisis
kuantitatif
1. Analisis Deskriptif Hasil Belajar Siswa Pada Tes Awal
Siklus
Tes
awal yang dilakukan peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran awal tentang
hasil belajar siswa dalam proses belajar mengajar. Tes awal ini akan dijadikan
acuan untuk melihat sejauh mana keberhasilan metode pengajaran dengan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Adapun hasil analisis statistik
deskriptif pada skor hasil belajar siswa kelas V SD sebelum dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Tabel4.1. Statistik
Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Sebelum dilakukan
Pembelajaran model kooperatif tipe STAD
Statistik
|
Nilai Statistik
|
|
Subyek
|
25,00
|
|
Skor Ideal
|
100,00
|
|
Skor Tertinggi
|
90,00
|
|
Skor Terendah
|
40,00
|
|
Rentang Skor
|
50,00
|
|
Rata-rata Skor
|
59,60
|
|
Median
|
60
|
|
Modus
|
60
|
Pada
tabel 4.1. menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika
sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe
STAD. Rata-rata skor yang dicapai siswa tidak mencapai nilai KKM yaitu 60.
Rentang skornya juga masih tinggi.
Dari
data tabel 4.1, jika skor hasil belajar responden dikelompokkan kedalam 3
kategori, maka diperoleh distribusi frekuensi skor yang disajikan sebagai
berikut:
Tabel4.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Skor
Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Sebelum dilakukan
Pembelajaran model kooperatif tipe STAD
Skor
|
Kategori
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
< 60
|
Tidak tercapai
|
5
|
20,0
|
= 60
|
Tercapai
|
13
|
52,0
|
> 60
|
Melampaui
|
7
|
28,0
|
Jumlah
|
25
|
100,0
|
Pada tabel 4.2.
terlihat bahwa hasil belajar siswa dalam
pembelajaran matematika sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD, menunjukkan bahwa dari 3 kategori yang
ada, kategori tidak tercapai terdapat 16 % , yang frekuensinya melampaui
sekitar 48 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.1.
2. Analisis Deskriptif Hasil Belajar Siswa Pada Tes
Siklus I
Gambar 4.1. Tingkat
Hasil Belajar Siswa pada Tes Awal Siklus
Hasil
analisis statistik deskriptif pada skor hasil belajar siswa kelas V SD setelah
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel4.4. Statistik Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V
SD Kecamatan Bontomarannu Setelah Dilakukan Pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap materi penjumlahan pecahan biasa
berpenyebut sama dan beda
Statistik
|
Nilai Statistik
|
Subyek
|
25,00
|
Skor Ideal
|
100,00
|
Skor Tertinggi
|
100,00
|
Skor Terendah
|
40,00
|
Rentang Skor
|
60,00
|
Rata-rata Skor
|
68,00
|
Median
|
60
|
Modus
|
60
|
Tabel
4.4. menunjukkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika setelah
dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD. Tabel tersebut mengindikasikan adanya peningkatan dimana pada awal siklus
rata-rata skor 64,00 menjadi 68,00 pada siklus I ini.
Dari
data Tabel 4.4, jika skor hasil belajar responden dikelompokkan kedalam 3
kategori, maka diperoleh distribusi frekuensi skor yang disajikan sebagai
berikut:
Tabel4.5. Distribusi Frekuensi Dan Persentase Skor
Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Setelah Dilakukan
Pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD Terhadap Materi
penjumlahan pecahan biasa berpenyebut sama dan beda Siklus I
Skor
|
Kategori
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
< 60
|
Tidak tercapai
|
2
|
8,0
|
= 60
|
tercapai
|
11
|
44,0
|
> 60
|
melampaui
|
12
|
48,0
|
Jumlah
|
25
|
100,0
|
Dari tabel 4.5.
terlihat bahwa hasil belajar siswa bervariasi dan pada umumnya kemampuan hasil
belajar siswa sudah meningkat yang pada awal siklus ke siklus I . Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. 3.
Gambar.3 Tingkat Hasil Belajar Siswa
pada Tes Siklus I
3. Analisis Deskriptif Hasil Belajar Siswa Pada Tes
Siklus II
Hasil
analisis statistik deskriptif pada skor hasil belajar siswa kelas V SD
Kecamatan Bontomarannu setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap materi penjumlahan pecahan campuran
berpenyebut sama dan beda pada siklus II dapat dilihat
pada tabel.7.
Tabel4.7. Statistik
Skor Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Setelah Dilakukan
Pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD Terhadap Materi penjumlahan pecahan campuran
berpenyebut sama dan beda Pada Siklus II
Statistik
|
Nilai Statistik
|
Subyek
|
25,00
|
Skor Ideal
|
100,00
|
Skor Tertinggi
|
100,00
|
Skor Terendah
|
40,00
|
Rentang Skor
|
60,00
|
Rata-rata Skor
|
79,20
|
Median
|
60
|
Modus
|
80
|
Tabel
4.7. menunjukkan bahwa hasil belajar siswa setelah dilakukan pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD mengalami
peningkatan dibanding pada siklus I yang rata-rata skornya 68,00 menjadi 79,20
pada siklus II.
Berdasarkan
data Tabel 4.7, jika skor hasil belajar responden dikelompokkan kedalam 3
kategori, maka diperoleh distribusi frekuensi skor sebagai berikut:
Tabel4.8. Distribusi Frekuensi Dan Persentase Skor
Hasil Belajar Siswa Kelas V SD Kecamatan Bontomarannu Setelah Dilakukan
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
Terhadap Materi penjumlahan pecahan campuran berpenyebut sama dan beda Pada
Siklus II
Skor
|
Kategori
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
< 60
|
Tidak tercapai
|
2
|
8,0
|
= 60
|
tercapai
|
11
|
16,0
|
> 60
|
melampaui
|
12
|
76,0
|
Jumlah
|
25
|
100,0
|
Dari tabel 4.8.
terlihat bahwa hasil belajar siswa bervariasi dan pada umumnya kemampuan hasil
belajar siswa lebih meningkat lagi dari siklus I ke siklus II. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.5.
.
Gambar 4.5. Tingkat Hasil Belajar Siswa
pada Tes Siklus II
B. Analisis Kualitatif
1. Refleksi Terhadap
Pelaksanaan Tindakan Dalam Proses Belajar Mengajar Matematika
a. Refleksi siklus I
Siklus I terdiri dari 2 (dua) kali pertemuan dengan materi penjumlahan pecahan
biasa berpenyebut sama dan beda. Materi disajikan diawali dengan mengaitkan
materi yang akan dipelajari dengan keadaan sekitar, kemudian menyampaikan
indikator pencapaian hasil belajar agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai
pada materi tersebut. Setelah itu penulis menjelaskan materi secara singkat dan
mengaitkannya dengan contoh benda yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan
mengelompokkan siswa dan membagikan LKS untuk setiap kelompok. Kemudian setelah
itu diberikan kuis dan dikerjakan secara individu, Kemudian evaluasi .
Pada pertemuan kedua
dan berikutnya, Materi disajikan diawali dengan mengaitkan materi yang akan
dipelajari dengan materi sebelumnya, kemudian menyampaikan indikator pencapaian
hasil belajar agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai pada materi
tersebut. Setelah itu penulis menjelaskan materi secara singkat dan
mengaitkannya dengan contoh benda yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan
mengelompokkan siswa dan membagikan LKS untuk setiap kelompok. Kemudian setelah
itu diberikan kuis dan dikerjakan secara individu, kemudian evaluasi,
menyimpulkan materi, memberikan penguatan .
Pada siklus I ini apa
yang ingin dicapai oleh peneliti telah tercapai, misalnya meningkatnya
rata-rata hasil belajar siswa terhadap matematika yang terlihat pada tabel 4.5
dan Gambar 4.3 tapi masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki pada siklus
berikutnya.
Adapun hal-hal yang
perlu diperbaiki pada siklus II antara lain :
1. Pada siklus I siswa
dikelompokkan menurut absen, ternyata nilainya tidak optimal sehingga pada
siklus II pengelompokan diubah berdasarkan hasil tes siklus I. Siswa tetap
dibagi dalam 4 kelompok dan pada setiap kelompok terdapat siswa yang memiliki
kemampuan tinggi dan rendah.
2. Pada siklus I beberapa siswa belum menguasai cara menyamakan penyebut dengan
KPK dan pecahan senilai, sehingga pada siklus II materi itulah
yang akan mendapat penekanan.
b. Refleksi siklus II
Siklus II terdiri dari 2 (dua) kali pertemuan dengan materi penjumlahan pecahan
campuran yang berpenyebut sama dan beda dengan mengaitkan materi yang
akan dipelajari dengan materi sebelumnya. Pada siklus ini penulis menekankan
hal-hal yang perlu diperbaiki seperti cara menyamakan penyebut dengan
menggunakan KPK dan pecahan senilai, kemudian penulis menyampaikan indikator
pencapaian hasil belajar agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai pada
materi tersebut.
Pada pertemuan pertama
peneliti menjelaskan materi disajikan diawali dengan mengaitkan materi yang
akan dipelajari dengan materi sebelumnya, kemudian menyampaikan indikator
pencapaian hasil belajar agar siswa mengetahui apa yang ingin dicapai pada
materi tersebut. Setelah itu penulis menjelaskan materi secara singkat dan
mengaitkannya dengan contoh benda yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan
mengelompokkan siswa dan membagikan LKS untuk setiap kelompok. Kemudian setelah
itu diberikan kuis dan dikerjakan secara individu, kemudian evaluasi,
menyimpulkan materi, memberikan penguatan .
Pada siklus II ini, pada
umumnya siswa lebih bersemangat lagi dengan model pembelajaran dengan cara
berkelompok sehingga siswa dapat saling berdiskusi dan bertukar pikiran dalam
memahami materi dan memecahkan atau menyelesaikan soal matematika.
Pada siklus II ini apa
yang ingin dicapai oleh peneliti tercapai. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya rata-rata hasil belajar siswa.
2. Perubahan Sikap Siswa
Disamping terjadinya
peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II, tercatat
pula sejumlah perubahan sikap yang terjadi pada siswa. Perubahan tersebut
merupakan data kualitatif dan dicatat oleh peneliti dalam lembar observasi tiap
siklus. Adapun perubahan-perubahan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Pada siklus I
kehadiran siswa sudah bagus begitu juga pada siklu II.
2. Pada siklus I siswa
masih malu-malu dalam bertanya kepada guru tentang masalah yang terkait dengan
apa yang disajikan guru sedangkan pada siklus II siswa sudah berani untuk
bertanya guru tentang masalah yang terkait dengan apa yang disajikan guru.
3. Pada siklus I
interaksi siswa dengan sumber belajar/media sudah baik sedangkan pada siklus II
interaksi siswa dengan sumber belajar/media jauh lebih baik dari siklus I.
4. Pada siklus I semua
siswa aktif melakukan kegiatan fisik dan mental (berpikir), begitu juga pada
siklus II.
5. Pada siklus I
ketuntasan belajar siswa meningkat, itu dapat dilihat dari nilai rata-rata
siswa pada siklus I 68,00 menjadi 79,00 pada siklus II.
Peneliti menyadari bahwa untuk menumbuhkan
minat siswa dalam belajar matematika perlu dirancang model pembelajaran yang
sesuai dengan situasi keadaan siswa, yang terpenting juga adalah membelajarkan
siswa antusias, keberanian mengungkapkan gagasan, ide dan pemikiran serta
meningkatkan hasil belajar matematika. Adanya peningkatan hasil belajar
matematika pada siklus II tersebut menunjukkan bahwa banyak kemajuan yang
dicapai oleh siswa setelah dilaksanakan pembelajaran model kooperatif tipe
STAD.
Uraian tersebut
diatas menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe
STAD dapat meningkatkann hasil belajar siswa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dipaparkan di depan , penulis menarik kesimpulan bahwa
model pembelajaran kooperatif tipe STAD mata pelajaran metematika pada
materi penjumlahan pecahan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kesimpulan
ini diambil setelah melihat data sebagai berikut:
1. Pada awal siklus atau
sebelum dilakukan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD, skor rata-rata hasil belajar siswa adalah 64,00. Sementara skor
ideal yang mungkin dicapai siswa adalah 100,00.
2. Pada siklus I atau
setelah dilakukan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD, skor rata-rata hasil belajar siswa pada pokok bahasan penjumlahan
pecahan biasa yang berpenyebut sama dan beda adalah 68,00 dari skor ideal yang
mungkin dicapai 100,00.
3.
Pada siklus II atau setelah dilakukan pembelajaran matematika
dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, skor rata-rata hasil belajar
siswa pada pokok bahasan penjumlahan pecahan campuran berpenyebut sama dan beda
adalah 79,20 dari skor ideal yang mungkin dicapai 100,00.
B. SARAN
Adapun saran-saran
yang penulis ajukan setelah menerapkan pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan
hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika, diharapkan guru mata
pelajaran matematika menerapkan metode mengajar yang mudah diterima oleh siswa.
2. Diharapkan kepada guru
mata pelajaran matematika dalam memberikan soal-soal latihan kepada siswa,
hendaknya soal-soal tersebut berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga
siswa merasa bahwa matematika itu memang sangat penting dalam kehidupan mereka.
3. Kepada pihak sekolah
agar memaksimalkan sarana dan prasarana yang ada disekolah. Khusus untuk
buku-buku yang berkaitan dengan matematika lebih diperhatikan lagi,
demikian pula pengadaan alat peraga yang sangat membantu siswa dalam memahami
pelajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Aderusliana.2003. http://blogs.unpad.ac.id/aderusliana
Teori Belajar,(online), diakses 21 Juli 2008
Sanjaya,
Wina. 2006. Strategi Pembelajaran. Bandung : Kencana.
Wahyusuryaningsi.2008.http://luar
sekolah.blogspot.com,(online), diakses tanggal 20 januari 2011
Saha.2010/2011.www.sahaptk.blogspot.com