Dalam
mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari
istilah konseling dan budaya. Pada paparan-paparan terdahulu telah disajikan
secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam
pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2)
adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam
memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya,
ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan
ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling
lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan
konseling dalam dua peserta atau lebih, berbeda dengan latar belakang budaya,
nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson,
dalam Boy Soedarmadji, 2008). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan
Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya
secara luas dan menyeluruh.
Dari
pengertian di atas, maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara
konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan
klien tentu memiliki perbedaan-perbedaan dari sisi budaya yang sangat mendasar.
Perbedaan budaya tersebut dapat mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan
lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal
dari budaya yang berbeda.
Layanan
konseling lintas budaya tidak hanya terjadi, pada mereka yang berasal dari dua
suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul
pada suatu suku bangsa yang sama. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri
dalam proses konseling.
Dalam
praktik sehari-hari, konselor terkadang akan berhadapan dengan klien yang
berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin
disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini
memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan-perasaan
negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif
terhadap mereka yang berlainan budaya merupakan sesuatu alamiah atau manusiawi.
Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau
melestarikan nilai-nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam
pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita
memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan
dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson,
dalam Boy Soedarmadji, 2008). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien
adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya
perbedaan-perbedaan tertentu yang sangat prinsip.
Hal lain
yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana
konselor dapat bekerja sama dengan klien. Dalam melakukan hubungan konseling
dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami
klien seutuhnya ini berarti konselor harus dapat memahami budaya spesifik yang
mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal
(Speight, 1991).
Memahami budaya
spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami
budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien
dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena baik secara langsung atau
tidak, secara disadari atau tidak setiap klien akan membawa budayanya
sendiri-sendiri.
Klien yang
berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya
timur. Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan
terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari
berbagai Sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung
terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif
di dalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang
bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya
di sekitar klien.
Kemampuan
konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung
akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan
mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Boy Soedarmadji, 2008).
Memahami
keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu
berkembang akan membawa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangannya.
Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya
klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas
perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri
nilai-nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang
diyakini oleh klien ini.
Bertolak
belakang dengan nilai-nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di
lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor karena apapun yang
dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami
manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita
berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyarakat di dunia ini. Salah satu
nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat
menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang.
Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika
atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan
Jakarta.
Kesadaran
akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan
membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan
pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk
melaksanakan konseling.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya.
Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga
elemen yaitu:
1. konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling
di tempat yang berbeda pula.
Lebih
lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Boy Soedarmadji, 2008)
dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar
belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang
diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi
selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling,
yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana
konseling itu dilaksanakan.
Adapun
faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas
budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat
tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta
variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo &
Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991;
Pedersens, 1991; Lipton dalam Boy Soedarmadji, 2008).