Hari itu
pelajaran sekolah berlangsung seperti biasanya. Ketika bell tanda istirahat
berbunyi semua siswa berduyun duyun pergi kekantin sekolah untuk jajan. Namun
tidak demikian dengan Andri, hari itu ia tampak tidak bersemangat melewatkan
waktu bersama teman-teman sekelasnya. Riangnya dendang dan suara tawa siswa
lain tak kunjung juga menggodanya untuk bangkit dan melebur bersama kehangatan
mereka. Cuaca cerah dipagi diiringi semilir angin yang lembut terasa sangat
kontras dengan ekspresi wajah laki-laki berumur 17 tahun itu.Tampanya ia tengah
melamun atau memikirkan sesuatu, sesuatu yang sangat memberat dipundaknya yang
kian lama semakin membungkuk jatuh kemeja.
“kau sedang
apa ri?” demikian terdengar suara yang membuyarkan semua lamunan Andri.
“oh,
tidak…bukan apa-apa kok Las, kau tidak ke kantin Lastri?”
“sebenarnya
aku memang hendak pergi ke kantin, tapi
melihatmu melamun seperti itu membuatku mengurungkan niat untuk ke kantin, ada
apa sih? Kok sampai segitunya, kalau kau enggak bawa uang jajan biar kutraktir
juga gak apa-apa kok. Lagian kamu kan sering bantu aku ngerjakan PR kalau aku lagi kesulitan”.
“enggak… bukan… itu masalahku, sebenarnya aku
ada bawa uang jajan, tapi aku lagi malas mau jajan Las, kalau kau ingin ke
kantin yaa …silakan aja”
“cerita,
dong sama aku, sebenarnya kamu ada masalah apa sih?”
Lastri pun
duduk di samping Andri. Desir angin betiupa panjang ketika Andri menarik nafas
panjang dan menghempaskan punggungnya di sandaran kursinya.
“hmm…
sebenarnya aku lagi bingung Las.” Andri pun memulai ceritanya.
“bingung bingung kenapa?” Tanya Lastri ingin tahu.
“sekarang
adalah tahun terakhir kita sekolah, aku bingung entah nanti aku bisa kuliah
ataukah aku harus bekerja membantu Ibuku.”
“kenapa,
kau harus memikirkan itu dri? Bukankah ujian masih lama?”
“iya, aku
tahu, tapi kiranya kau juga tahu kan kalau Keluargaku bukanlah keluarga kaya,
kami hidup serba kekurangan semenjak Ayahku meninggal”
Lastri
terdiam tanpa kata mencoba mencerna semua maksud yang dikatakan temannya itu,
dalam hati ia juga prihatin terhadap keluarga Andri yang miskin. Sedang Andri
kembali menarik napas panjang mencoba merangkai semua kegundahan hatinya dalam
bentuk kata-kata yang mudah dimengerti Lastri.
“Aku
kasihan pada Ibuku yang setiap hari harus berjalan kaki jualan kue keliling,
Aku tak ingin membebainya lagi dengan keinginanku kuliah nanti. Namun disisi
lain aku juga punya mimpi yang ingin kuwujudkan melalui kuliah, dan dengan itu
pula aku berharap aku bisa merubah nasib keluargaku Las”.
Lastri
begitu tersentuh mendengar ucapan temannya Andri, raut sedih tampak di wajah
Andri, namun sebagai anak laki-laki Andri sangat terlihat tabah, tak setitik
pun air mata jatuh di pipinya. Sebaliknya demi mendengar kisah sedih temannya,
Lastri lah yang menitikkan air mata karena haru akan sikap mulia Andri.
“Demi Ibuku
yang sudah mulai sakit-sakitan, mungkin aku akan mengubur dalam dalam
keinginanku untuk jadi Dokter. Kau tau, sekarang sehabis pulang sekolah
biasanya aku ikut kerja kuli bangunan di seberang Pasar sana, ada pembangunan
ruko, saat itu aku sengaja datang menemui mandornya untuk melamar pekerjaan
sampingan. Meski hasilnya tidak seberapa, tapi aku bersyukur aku diberi
kesempatan bang mandor untuk mencari uang hasil keringatku sendiri. Semua ini
kulakukan karena aku tak ingin membebani Ibuku lagi’.
Lasti masih
saja tercengang seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan temannya Andri,
tapi kulit andri yang mulai menghitam serta tangannya tang terlihat kasar dan
berurat sudah cukup meyakinkan Lasti kalau teman sekelasnya ini tidaklah
berbohong. Dalam hati ia merasa iba akan nasib Andri serta salut dengan
kemuliaan hati temannya ini.
“aku tak
bisa berkata apa-apa Andri, tapi aku sangat kagum dengan semua yang kau lakukan,
ku tak bisa bayangkan kalau aku yang berada diposisimu saat ini, sekali lagi
aku sangat kagum akan tekadmu untuk membantu Ibumu, jaman sekarang sangat
jarang kutemuka orang sepertimu”.
“ah, jangan
terlalu memuji Las, siapapun yang berada diposisiku pasti akan melakukan hal
yang sama”.
“tapi
apakah belajarmu tidak terganggu kalau kau sedang bekerja?”
“tentu saja
tidak, belajar tetap prioritasku untuk lulus saat ini. Tiap malam sehabis
magrib dan isya kuhabiskan waktuku untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah”
“pantas
saja kau tampak lelah belakangan ini, kau juga kelihatan lebih hitam dari
biasanya, gak nyangka ternyata kamu sering kerja bangunan”.
“yang
penting apa yang kulakukan halal Las, aku tak ingin jadi anak yang terus
bergantung, apa lagi mengingat Ibuku sekarang sudah tua dan sering
sakit-sakitan, kadang aku tak tega demi melihat ia berjalan kaki menjajakan kue
keliling kampung”
“ya sudah
lah, tak usah kita pikirkan itu sekarang, sebaiknya kita ke kantin yuk, mumpung
masih ada waktu… jangan sungkan, aku yang traktir. oh iya, aku juga punya rencana dengan teman-teman sekelas
untuk membantu Ibumu membuatkannya
gerobak biar nanti jualannya gak perlu keliling lagi, cukup mangkal di suatu
tempat, beres kan ?”.
“aduh, itu
kan merepotkan Las?”
“eits,
tidak ada istilah merepotkan dalam berteman. Sudah jangan protes, rejeki kok ditolak. Yuk…”
Mereka pun
beranjak ke kantin sekolah bersama, dalam
hati Andri memuji sikap temannya Lastri yang baik hati dan tidak pilih-pilih
dalam berteman.
“kamu memang baik Lastri, moga Allah selalu
bersamamu”.
“hehe, duh
kamu nih, jadi malu aku dengar pujian mu Dri, justru aku yang ingin berterima
kasih, kamu sering bantu aku ngerjain tugas-tugas sekolah dan menolong
kesulitan belajarku”
Sepulang
sekolah Andri seperti biasa kembali melakoni waktunya sebagai buruh kasar
sebagai kuli bangunan di salah satu sudut kota. Pekerjaan yang dilakukannya
terbilang cukup berat untuk anak muda seusianya. Namun tidak demikian halnya
dengan Andri. Pekerjaan itu tampak begitu mudah
seolah sudah terbiasa. Andri pun terlihat sangat asyik denga
pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Tak jarang para buruh lain memuji semangat
kerjanya yang tinggi, demikian pula halnya dengan Brata, mandor mereka di situ.
“Ri…
istirahat dulu nanti baru disambung lagi!” ujar Brata
“iya bang,
lagi tanggung nih, sedikit lagi juga selesai” balas Andri
“ya sudah,
tapi kuingatkan jangan sampai kau pingsan karena kepanasan, mesin juga perlu
didinginkan kalau sudah kepanasan” sambung Brata.
“makasih
bang, insyaallah saya masih kuat.”
Demikianlah
Andri, pemuda yang begitu gigih dalam pekerjaan barunya ini. Mandor Brata juga
sangat senang dengan anak buahnya yang satu ini, meskipun terbilang masih
sangat belia, tapi ia sudah bias menunjukkan sikap teladan yang baik di
lingkungan tempat kerjanya. Keinginannya yang kuat untuk meringankan beban sang
Ibu telah membuat mandor Brata mau menerima Andri bekerja sebagai anak buahnya.
“o iya
Andri, sabtu besok kita sudah gajian”
“bener
bang? Alhamdulillah… asyik bang, tambah semangat dong saya kerja disini, hehe”
“iya, asal
kau tau diri Ri, jangan over dosis kalau kerja, nanti sekolahmu terbengkalai,
abang gak mau kalau sampai Ibumu menyalahkan abang karena pekerjaanmu di sini”.
“ah abag
ini bisa aja… saya sudah cukup senang diterima kerja di sini, namun untuk
sekolah tetap prioritas utama saya bang”.
“ya sudah,
selesaikan cepat pekerjaanmu, sebentar lagi jam pulang”.
“beres bang
Brata”.
Hari itu
bukan main senang Andri begitu mengetahui bahwa besok ia sudah mendapatkan
gajiannya yang pertama. Tetntu saja uang gajian itu akan ia persembahkan untuk
Ibunya tercinta. Andri pulang dengan wajah ceria, lelah dan letih bekerja tak
tampak di raut wajahnya. Hanyua keringat yang membasahi sekujur tubuh dan
pakaiannya yang lusuh yang menandakan ia habis melakukan pekerjaan yang berat.
Setiba
didepan rumah ia terkejut melihat sepeda motor teman-teman sekelasnya terparkir
di halaman rumah, juga sebuah gerobak jualan yang terparkir di samping
rumahnya. Dalam hati ia pun bertanya-tanya, ada perihal apa teman-temannya
datang kerumahnya. Namun segera ia tepis segala kecemasan dihatinya.
“assalamualaikum”
sapa Andri.
“walaikum
salam” sahut teman-temannya dari dalam.
“weisshhh,
sudah pulang pahlawan kita nih, wah, pasti capek ya bro?” celetuk Anton.
“ya sudah
dipijitin aja Ton sama kamu, hehe” balas Eky
“tungu-tungu,
sebenarnya ada apa ini, tumben kalian datang ke rumah ku, tapi sebelumnya maafnya
beginilah keadaan rumah kami, kecil dan sempit” balas Andri kembali.
“begini,
kemarin sore Lastri ngajak kita-kita ngumpul buat patungan beliiin Ibumu
gerobak jualan sekalian buat nambah modal usaha Ibumu jualan kue, jadi untuk
selanjutnya Ibumu gak usah repot repot lagi manggul jualannya keliling kompleks
dan kampong. Cukup jualan secara mangkal di sutu tempat” jawab ketua kelas
mereka Reno.
“benar
Lasri?” Tanya Andri memastikan.
“iya,
benar, kami semua sepakat dan kami melakukan ini dengan ikhlas dan suka rela
buat membantu kamu dan Ibumu Ri” jawab Lastri.
“waduh
teman teman, aku jadi tidak enak nih sama kalian. Aku sudah menyusahkan kalian”
timpal Andri
“tenang aja
laa bro, kita kan temenan, bukankah sesame teman kita harus saling membantu?”
sahut Anton.
“tapi…”
“sudahlah,
terima saja, toh Ibumu tadi juga sudah setuju” kata Reno lagi.
“terima
kasih semuanya, aku senang bisa punya teman yang baik seperti kalian. Semoga
Allah membalas semua kebaikan kalian ini” balas Andri
“amin”
jawab mereka hamper bersamaan.
“ehm ehm…
ya sudah bicaranya di sambung nanti saja, sekarang diminum dulu airnya. Maaf ya
cuma the sama goreng pisang” kata Ibu Siti, Ibunya Andri.
“iya bu,
ini pun sudah cukup lumayan kok bu, hehe” jawab Anton
“kalau
urusan makan minum sih Kamu emang jagonya Ton” sahut Eky.
Serempak
mereka semua tertawa demi mendengar ucapan Eky atas kebiasaan Anton.
“sekali
lagi, Ibu sangat berterima kasih atas kebaikan kalian semua, mulai sekarang Ibu
tidak perlu repot repot lagi berjalan kesana kembali membawa dagangan Ibu, juga
atas tambahan modal yang kalian berikan sama Ibu. Mudah-mudahan jika dagangan
Ibu laris, modal ini akan Ibu kembalikan” kata Bu Siti.
“gak usah
Bu, kita semua gak minta uang ini dikembalikan kok” sahut Lastri
“benar Bu,
gak usah. Kita ikhlas kok bantu Ibu dan Andri” kata Reno.
“Ibu senang
sekali mendengarnya, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian ini melebihi
apa yang kalian berikan ke Ibu dan Andri” kata Bu siti lagi sambil menitikkan
air matanya karena terharu. Semua pun tampak sangat puas telah bisa menolong
Ibu Siti.
Tak terasa
bulan bulan terus berlalu, saatnya ujian hampir tiba. Semua siswa sibuk
menyiapkan diri mengikuti Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Oleh Brata sendiri
Andri diberi cuti kerja sampai ia selesai Ujian Nasionaldan Ujian Sekolah baru
kemudian ia diperbolehkan lagi untuk bergabung bekerja bersama karyawan yang
lain. Brata begitu perhatian terhadap anak buahnya yang satu ini. Ia yakin
Andri bukan hanya anak yang cekatan dalam bekerja tapi juga anak yang pandai
dalam hal pelajaran sekolahnya. Ini terlihat dari caranya cepat belajar segala
sesuatu ketika bekerja sebagai buruh bangunan.
Bagitu
selesai ujian sekolah Andri tidak menyia nyiakan waktu liburnya. Segera ia
bergabung bersama karyawan buruh yang lain. Tidak seperti kebanyakan anak yang
pergi liburan entah kemana, Andri justru lebih senang menghabiskan waktunya
dengan bekerja mencari uang buat membantu Ibunya.
Sore itu
langit tampak memerah, sayup angin begitu gemulai menyentuh kulit Andri yang
sedang bersepeda pulang kerja. Terasa begitu menyegarkan tubuhnya ketika air
sumur membasahi sekujur tubuhnya waktu ia mandi. Malam hari setelah ia selesai
sholat dan makan, bu Siti mengajak Andri bicara.
“Andri,
besok kamu tidak usah kerja yaa, besok kamu sama Ibu, kita harus kesekolah. Ada
pengumuman kelulusan”.
“oh, begitu
ya Bu, wah cepat sekali waktu berlalu”.
“baiklah,
kalau begitu malam nanti aku akan ke rumah Bang Brata minta ijin sama bang
Brata dulu, biar besok tidak usah kerja”.
“itulah
yang sebaiknya” kata bu Siti.
Malam hari,
setelah pulang dari rumah mandor Brata, Andri tak bisa tidur. Pikirannya
menerawang akan kelulusannya. Maka segera saja ia berwudhu dan sembahyang malam
agar semua kegelisahan hatinya bisa hilang. Ia tak pernah berharap lebih, asal
ia bisa lulus saja itu sudah suatu hal yang cukup menggembirakan hatinya dan
Ibunya. Selesai sholat malam ia kembali tidur. Suara jangkrik dan binatang
malam lainnya tak lagi ia hiraukan.
Keesokan
harinya ketika ia di sekolah berkumpul bersama teman temannya semua tampak
begitu merindukan kebersamaan mereka. Namun ada juga rasa was was dan
kekhawatiran akan kelulusan mereka di sekolah itu. Semua tampak hening ketika
kepala sekolah mereka Pak Herman, berpidato di depan semua siswa dan juga orang
tua mereka masing masing.
“tahun ini,
sekolah kita dinyatakan lulus 100% dengan nilai rata-rata baik!”
Hadirin
yang hadir sontak dari tenang menjadi riuh karena suara sorak sorai siswa
diiringi suara tepuk tangan. Semua bergembira, bahkan ada yang sampai menangis
saking merasa terharu.
“suatu
kehormatan bagi saya selaku kepala sekolah, memanggil salah satu siswa
berprestasi dalam ujian Sekolah dan Ujian Nasional yang mendapat nilai terbaik
di sekolah kita ini, bahkan mendapatkan nilai tebaik sepropinsi, kami panggil
anak kami yang bernama Andri Bastian beserta Ibu siti Bastian untuk tampil
kedepan”.
Bukan main
berbahagia Andri dan Ibu Siti mendengar kabar tersebut. Saat berjabat tangan
dengan Andri Pak Herman Kepala Sekolah berpesan kepada Andri,”Andri Lanjutkan
pendidikanmu, kejenjang yang lebih tinggi”
“tapi pak…”
kata kata itu terputus
“tidak ada
tapi tapi, lanjutkan saja”
Pak Herman
sebetulnya sudah mengetahui kondisi keluarga Andri. Diam diam ia merencanakan
sesuatu terhadap Andri.
Keesokan
harinya Andri tetap bekerja seperti biasanya, demikian pula hari hari
berikutnya. Tak ada yang berubah dari pribadi Andri meskipun telah mendapat
predikat terbaik seprovinsi, Andri Bastian tetaplah seorang Andri Bastian
seperti hari-hari kemarin.
Suatu sore
ketika Andri pulang dari mengantar bahan material, didapatinya mandor Brata
tengah menungunya.
“Andri,
Besok kamu tidak usah masuk kerja”
“lho,
kenapa bang?”
“tadi Pak
Herman, kepala sekolahmu datang kemari. Beliau mencarimu katanya ada hal
penting. Besok kau di suruh untuk ke sekolah”.
“ada apa ya
Pak Herman mencariku? Kenapa tidak langsung menemui Ibu saja di rumah?”
“beliau
sudah kerumahmu sebelumnya, namun Ibumu tidak ada, makanya beliau langsung
kemari mencarimu, tapi tadi kau sedang mengantar material bangunan, makanya
besok kau kuijinkan untuk tidak masuk kerja”.
“hmm…
baiklah bang”
Andri pun
menarik napas panjang, dalam hati ia terus bertanya-tanya mengapa Pak Herman
kepala sekolahnya itu mencarinya, ada perlu apa sebenarnya? Sesampai di rumah
segera ia katakan perihal kedatangan Pak Herman pada Ibunya.
“mungkin
ada kabar baik lainnya untukmu Ri”
“ya, semoga
saja demikian”
Keesokan
harinya Andri pun datang ke sekolah sesuai pesan Pak Herman.
“Assalamualaikum
Pak”
“walaikum
salam, Oh kamu Ri. Silakan masuk”
“baik Pak”
“duduk lah,
ada sesuatu yang ingin bapak bicarakan sama kamu”
“membicarakan
apa pak?”
“begini,
berdasarkan nilai-nilaimu ini kamu telah dilamar untuk masuk ke salah satu
universitas di Surabaya, kamu bebas memilih fakultas yang ada di sana, kamu
diterima tanpa syarat Ri, ini suratnya, di situ juga tertulis mereka siap
menanggung biaya pendidikanmu hingga selesai dan akan diberi beasiswa jika ka
uterus berprestasi”
Seakan tak
percaya padaapa yang baru saja ia dengar, Andri pun membuka amplop surat itu.
“ini sudah
lama saya idam-idamkan Pak, alhamdulillah ya Allah, kau telah mengabulkan
doa-doaku, terima kasih Pak Herman, terima kasih”.
“sama-sama
Bastian, kau memang pantas mendapatkannya karena kegigihanmu”
“tapi apakah ada fakultas kedokteran di sana?”
“tapi apakah ada fakultas kedokteran di sana?”
“itu adalah
Universitas ternama di Indonesia, hampir semua Fakultas ada di sana termasuk
Fakultas kedokteran.”
“ini
benar-benar membuat saya bahagia Pak, akhirnya cita cita saya bakal tercapai
juga, sekali lagi terima kasih Pak”
Andri pun
pamit pulang untuk menyampaikan berita gembira ini pada Ibunya, tak lupa kepada
mandor Brata, orang yang selama ini membantu dan menyemangatinya. Tak lupa ia
berpamit kepada semua guru-guru di sekolahnya. Semua sangat senang dengan prestasi
yang ditunjukkan Andri, sewaktu ia hendak berangkat ke Surabaya, ia diantar Bu
Siti, Brata, Pak Herman, keluarga, dan teman-teman sekelasnya. Perpisahan yang
mengharukan terjadi di stasiun kereta kala itu. Namun demi menggapai cita-cita
yang lebih tinggi, tak jarang pengorbanan diperlukan untuk meraihnya. SEKIAN. (By Samsu Sudario)