Global warming atau pemanasan global bukanlah isu baru. Sejak awal tahun 80-an, penelitian tentang isu lingkungan yang menjadi perhatian dunia ini sudah mulai dikembangkan. Perubahan iklim yang tidak teratur belakangan ini merupakan salah satu dampak pemanasan global yang tidak dapat dihindari. Akibatnya, tidak hanya banyak petani gagal panen, tetapi curah hujan yang tinggi juga telah menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor dibeberapa wilayah Indonesia.
Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia memiliki hubungan sosiologismaupun biologis secara langsung dengan lingkungan hidup dimana dia berada, sejak dia lahir sampai meninggal dunia. Namun kesadaran hukum masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menumbuhkan kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun dari segi kebijakan. Sinergi keduanya penting, karena kesadaran hukum itu ada yang tumbuh karena memang sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja. Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang dianggap paling tahu hukum dan wajib menegakkannya, justru dari oknumnyalah yang melanggar hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi “tauladan bagi masyarakat”. Misalnya orang yang suka dengan hidup bersih, maka ia tidak akan membuang sampah sembarangan.
Kesadaran hukum juga dapat tumbuh karena takut dengan sanksi yang dijatuhkan. Kesadaran semu inilah yang banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Lepas dari penyebab kesadaran hukum itu muncul, yang berbahaya adalah apabila kesadaran hukum itu telah ada namun kemudian menurun bahkan hilang karena faktor eksternal, seperti penegakan hukum yang tidak tegas dan tebang pilih. Hal ini akan menurunkan kesadaran hukum masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Jadi, upaya menumbuhkan kesadaran hukum tidak cukup dengan menuntut masyarakat, tetapi juga harus disertai dengan tauladan dan penegakan hukum.
Manusia, baik kedudukannya sebagai anggota masyarakat, sebagai pelaku usaha, sebagai aparat penegak hukum, maupun sebagai pembuat/pengambil kebijakan, harus memiliki kesadaran hukum lingkungan meskipun secara bertahap, dari sekedar mengetahui sampai dengan menaati dan menghargai berbagai ketentuan hukum lingkungan yang ada.
Bagi individu dimasyarakat, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan. Bagi pelaku usaha, misalnya melakukan AMDAL dan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Sementara bagi Pemerintah, misalnya dengan memperketat proses AMDAL dan perizinan, serta menindak tegas pegawai yang menyalahgunakan kewenangannya, seperti memberikan AMDAL dan izin tanpa prosedur yang seharusnya. Selain itu, pemerintah dalam membuat kebijakan tata kota dan perizinan area bisnis hendaknya memperhatikan kondisi lingkungan tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa yang akan datang. Karena dibeberapa kota, banjir dan tanah longsor terjadi justru disebabkan kebijakan tata kota yang menjadikan daerah serapan air dan hutan lindung kota sebagai area bisnis, seperti pendirian Mall dan apartemen. Sedangkan bagi Parlemen, seperti DPRD dalam membuat Perda yang berkaitan dengan lingkungan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan harus menguntungkan masyarakat di daerah. Sementara bagi aparat penegak hukum, hendaknya menindak tegas para perusak lingkungan tanpa pandang bulu, termasuk apabila pelakunya melibatkan pejabat dan atasan/ bawahannya sendiri.
Berkaitan dengan faktor-faktor kesadaran hukum sebagaimana disebutkan diatas, untuk hukum lingkungan, ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu : Pertama, “mengetahui”, secara yuridis, setelah UU disahkan, sejak itu pula muncul asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahuinya. Asumsi ini terealisasi apabila pasca diundangkan ada aktivitas sosialisasi yang tepat dan kontinyu. Bila tidak, maka dapat dihitung berapa jumlah masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang peraturan tersebut dan jumlahnya dipastikan tidak akan menyentuh masyarakat kalangan bawah, tidak hanya di desa tetapi juga diperkotaan. Akibatnya tidak heran bila ada kegiatan usaha yang tidak memiliki atau bahkan tidak mengetahui perlunya AMDAL.
Kedua, “mengerti”, masyarakat tidak cukup hanya sekedar mengetahui saja, tetapi juga harus memahami isi peraturan, seperti apa tujuan dan manfaat dikeluarkannya peraturan tersebut. Hukum lingkungan tentunya bertujuan agar proses pembangunan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu diperlukan adanya aturan AMDAL dan perizinan. Adanya aturan ini hendaknya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha dan lahan korupsi bagi oknum birokrasi/aparat hukum, tetapi sebagai upaya preventif bersama agar kegiatan usaha tidak merusak lingkungan.
Ketiga, “mentaati”, setelah mengetahui dan memahami, maka diharapkan dapat mentaati. Namun hal ini masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagi pihak yang merasa kepentingannya sama, maka biasanya akan langsung mentaati. Apabila tidak, maka masih ada proses berfikir, bahkan mencari celah bagaimana “menghindari” atau “mensiasatinya”.
Keempat, “menghargai”, ketika seseorang telah mentaati, maka sikap menghargai suatu peraturan hukum lingkungan itu akan muncul bersamaan dengan kesadaran hukumnya bahwa hukum tersebut memang wajib untuk ditaati demi kepentingan dirinya, masyarakat dan dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan.