Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Makalah Filsafat Ilmu : Aliran Dalam Ontologi

Selasa, 11 September 2018 | 12:22 WIB Last Updated 2018-09-11T05:22:39Z
Filsafat adalah berpikir secara radikal, sistematis, dan universal tentang segala sesuatu. Jadi yang menjadi objek pemikiran filsafat ialah segala sesuatu yang ada. Semua yang ada menjadi bahan pemikirian filsafat. Namun karena filsafat merupakan usaha berpikir manusia secara sistematis, maka disini perlu mensistematisasikan segala sesuatu yang ada itu. Kita perlu mengklasifikasikan segala sesuatu yang ada.

BAB I PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Filsafat adalah berpikir secara radikal, sistematis, dan universal tentang segala sesuatu. Jadi yang menjadi objek pemikiran filsafat ialah segala sesuatu yang ada. Semua yang ada menjadi bahan pemikirian filsafat. Namun karena filsafat merupakan usaha berpikir manusia secara sistematis, maka disini perlu mensistematisasikan segala sesuatu yang ada itu. Kita perlu mengklasifikasikan segala sesuatu yang ada.

Filsafat juga dapat diartikan sebagai pemikiran / penelaahan tentang sesuatu secara mendalam, menyeluruh dan berkesinambungan. Untuk melakukan pimikaran / penelahaan tersebut secara mendalam, menyeluruh dan berkesinambungan atau bisa dikatakan penelahaan tersebut dilakukan secara ontologi.

Ontologi merupakan hakikat apa saja yang akan dikaji dalam filsafat pendidikan. Apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Adapun hakikat yang akan dikaji yaitu mengenai metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batas-batas penejelajahan ilmu.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan ontologi ?
2. Apa sajakah yang menjadi masalah dalam ontologi ?
3. Bagaimana bentuk aliran dalam paham ontologi ?
4. Apakah yang menjadi kekurangan dan kelebihan ilmu?

1.3 TUJUAN

Adapun tujuan dari makalah ini yaitu, mampu memahami :
1. Definisi Ontologi
2. Masalah dalam ontologi
3. Jenis aliran Ontologi
4. Pengetahuan Ontologi serta kelemahan dan kelebihan ilmu

1.4 MANFAAT

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
a. Pembaca, sebagai bahan referensi bacaan dalam memenuhi mata kuliah filsafat ilmu.
b. Penyususun, bekal dan pengetahuan dasar dalam memahami filsafat ilmu itu sendiri.


BAB II  PEMBAHASAN

A. Definisi Ontologi

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada (wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas). Secara bahasa, kata ontologi berasal dari perkataan Yunani, yaitu : Ontos berarti being, dan Logos berarti Logic. Jadi, dapat dikatakan ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan) atau bisa juga ilmu tentang yang ada (bakhtiar,2005:219).

Istilah ontologi pertama kali diperkenalkan oleh rudolf Goclenius pada tahun 1936 M, untuk menamai hakekak yang ada bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) dalam (bakhtiar,2005:219). membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus.

Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafiska atau otologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi menjadi Kosmologi, Psikologi dan Teologi.

Ada 3 hal yang berkaitan dalam mempelajari ontologi ilmu, yaitu: Metafisika, Probabilitas dan Asumsi . Secara etimologis metafisika berasal dari kata “meta” dan “fisika” (Yunani). “meta” berarti sesudah, di belakang atau melampaui, dan “fisika”, berarti alam nyata. Kata fisik (physic) di sini sama dengan “nature”, yaitu alam. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul di belakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman, objeknya di luar hal yang ditangkap pancaindra.

Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalamannya yang dapat ditangkap oleh indra. Namun metafisika mempelajari manusia melampaui atau diluar fisik manusia dan gejala-gejala yang dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini. Jadi, metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu. Begitu juga pembahasan tentang kosmos maupun Tuhan, yang dipelajari adalah hakikatnya, di luar dunia fenomenal (dunia gejala), menurut (Salam 1997:71)

Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) dalam salam (1997:71) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus. Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika atau ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi menjadi Kosmologi, Psikologi, Teologi, dan Antropologi.

Hal lain yaitu Probabilitas atau sering disebut Peluang. Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut.

Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.

Hal yang berkaitan dengan ontologi selanjutnya ialah Asumsi. Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek empiris. Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin-menjalin secara teratur. Sesuatu peristiwa tidaklah terjadi secara kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa hujan diawali dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan berulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk kepada hukum-hukum tertentu.

Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang baik.

Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalanan waktu tiap benda akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda.

Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).

B. MASALAH ONTOLOGI

Dalam kajian ontologi ada beberapa masalah yang perlu dipahami dan dicermati, yaitu :

Jumlah dan ragam
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Kenyataan itu baik dari pengalaman pribadi maupun dari sejarah pemikiran muncul persoalan tentang kesatuan dan kebanyakan, tentang ketunggalan dan kegandaan, tantang keekaan dan keanekaan, tentang kesamaan dan keberlainan. Persoalan itu merupakan pertanyaan ontologi yang paling fundamental, sebab menentukan sudut pandang pertama mengenai kenyataan seutuhnya, dan menberikan arah utama bagi seluruh ontologi.

Pertentangan

Rasanya orang-orang harus memilih salah satu di antara dua kemungkinan tersebut (antara kenyataan yang satu dan yang beragam), jikalau kenyataan itu bersatu, maka kiranya menjadi satu, tunggal, esa dan tidak akan menjadi banyak, ganda dan aneka. Dan demikian pula sebaliknya, jikalau jika kenyataan itu mengandung perbedaan. Atau sekurang-kurangnya salah satu menjadi sifat utama dan karakteristik bagi kenyataan, sedangkan sifat lainnya marupakan kekurangan dan kemerosotan.

Hampiran

Untuk menolak pemecahan persoalan awal ini, ontologi harus menolak dari kenyataan konkret menurut apa adanya. Tidak akan diusahakan menjawab pertanyaan:”Karena apa ada suatu kenyataan?” keniscayaan mengada atau tidaknya itu mustahil diuraikan secara apriori.

Adanya kenyataan diterima saja sebagai fakta, dan ontologi berusaha menetapkan batas-batas struktur-strkturnya. Analisis mengenai keseluruhan kenyataan tidak akan dimulai dengan berefleksi tentang kesadaran manusia akan pertanyaan mengenai mengada-pada-umumnya (I’etre, Sein, bieng). Andaikata demikian, maka akan bahaya bahwa rumusan pertanyaan pun telah memuat kekurangan. Titik pangkal penelitian ialah kesadaran manusia mengenai dirinya sendiri sebagai data. Disitulah manusia paling dekat dengan kenyataan.

C. ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT

Mempelajari pemahaman ontologi muncul beberapa pandangan-pandangan pokok pemikiran dalam pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Sehingga lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :

1. Monoisme : Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran :
a. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta yang hanyalah materi, sedangkan jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri 
b. Idealisme
Sebagai lawan dari materialisme yang dinamakan spriritualismee. Dealisme berasal dari kata ”Ideal” yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atu sejenis denganntya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruag. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dari penjelamaan ruhani

2. Dualisme,
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, sama-sama hakikat, kedua macam hakikat tersebut masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam ini. Tokoh paham ini adalah Descater (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai bapak Filosofi modern)

3. Pluralisme, paham ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme tertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara

4. Nihilisme, berasal dari bahasa Yunani yang berati nothing atau tidak ada. Istilah Nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fadhers an Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang Nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, yaitu pada pandangan Grogias (483-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas

5. Agnostisime, berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknow. A artinya not, Gno artinya know. Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakekat materi maupun hakekat ruhani. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Jadi paham ini mengenai pengingkaran tau penyangkalan terhada kemampuan manusia mengetahui hakekat benda baik materi maupun ruhani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakekatnya, namun tampaknya agnotisisme lebih dari itu karena menyerah sama sekali.

D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ILMU

Dibandingkan pengetahuan lain maka ilmu berkembangn dengan sangat cepat. Salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan ini ialah faktor sosial dari komunikasi ilmiah yang membuat penemuan individual segera diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan lainnya. Tersedianya alat komunikasi tertulis dan komunikasi elektronik dalam bentuk majalah, buletin, jurnal, micro film, telegraf dan sebaginya sangat menunjang intensitas komunikasi ini. suatu penemuan baru dinegara yang satu segera dapat diketahui oleh ilmuwan dinegara-negara lain.

Penemuan ini segera diteliti kebenarannya oleh kalangan ilmiah karena prosedur untuk menilai kesahihan (validity) pengetahuan sama-sama telah diketahui dan disetujui oleh seluruh kalangan ilmuwan. Percobaan ilmiah harus selalu dapat diulang dan sekitarnya dalam pengulangan ternyata pernyataannya didukung oleh fakta maka kalangan ilmiah secara tuntas menerima kebenaran pengetahuan tersebut.

Seluruh kalangan ilmiah menganggap permasalahan mengenai hal tersebut telah selesai dan ilmu mendapatkan pengetahuan baru yang diterima oleh masyarakat ilmuwan. Dengan demikian maka ilmu berkembang dengan pesat dalam dinamika yang dipercepat karena penemuan yang satu akan menelorkan penemuan-penemuan lainnya. Hipotesis yang telah teruji kebenaranya segera menjadi teori ilmiah yang kemudian digunakan sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis-hipotesis selanjutnya. Secara kumulatif maka teori ilmiah berkembang seperti piramida terbalik yang makin lama makin tinggi.

Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan-penemaun sebelumnya. Sebenarnya hal ini tidak seluruhnya benar karena sampai saat ini belum satupun dari seluruh disiplin keilmuan yang berhasil menyusun suatu teori yang konsisten dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika, yang merupakan prototipe bidag keilmuwan yang relatif paling maju, satu teoori yang mencakup segenap teori fisik kita dapat dirumuskan. Usagha untuk menyatukan teori relativitas umum, elektrodinamika, dan kuantum sampai saat ini belum dapat dilaksanaka. Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian dan tentatif sesuai dengan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian juga dalam jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan bahwa kebenaran yang sekarang ditemukan dan diterima oleh kalangan ilmiah akan benar pula dimasa yang akan datang.

Ilmu telepas dari berbagai kekurangan, dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini penilaian terhadap ilmu tidaklah terletak dalam kesahihan teorinya sepanjang zaman, melainkan terletak dalam jawaban yang diberikannya terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu. Adapun fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa dalam abad kedua puluh ini kita menggunakan berbagai ragam teknologi seperti mobil, pesawat terbang dan kapal laut, sebagai sarana pengangkutan kita berdasarkan pengetahuan yang kita terima kebenarannya sekarang ini. dikemudian hari mungkin saja ditemukan sarana pengangkutan lain yang cocok dengan peradaban pada waktu itu yang pembuatannya didasarkan atas pengetahuan baru yang akan mengusangkan pengethauna yang sekarang kita anggap benar.

Bagi tahap peradaban kita sekarang ini, maka semua itu tidak menjadi soal karena penerapan pengetahuan kedalam masalah kehidupan kita sehari-hari masih dirasakan banyak manfaatnya. Masalahnya tentunya akan lain lagi bila hal ini dihubungkan dengan pengetahuan yang bersifat mutlak. Manusia dalam menghadapi masalah yang sangat hakiki seperti tuhan dan kemudian tidak bisa lagi mendasarkan diri pada pernyataan-pernyataan ilmiah yang tidak berubah dari waktu kewaktu sesuai dengan perkembangan peadaban manusia.

Dalam hal ini maka ilmu Tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusis harus berplaing kepada sumber yang lain, umpamanya agama. Ilmu tidak berwenang untuk menjwabnya, sebab hal itu berada diluar diluar bidang telahaannya. Secara ontologi ilmu membatasi diri hanya dalam ruang ingkup pengalaman manusia. Diluar bidang empiris bisa mengatakan apa-apa. Sedangkan dalam batas kewenangannya ini pun, ilmu bukan tanpa cela, antara lain karena pancaindera manusia yang jauh dari sempurna.

Walaupun demikian kekurangan-kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk menolak eksistensi ilmu dalam kehidupan kita. Justru ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban seperti kita lihat sekarang ini. kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan sebagia pedoman untuk meletakkan imu ke dalam tempat yang sewajarnya. Sebab hanya dengan sifat itulah kita dapat memanfaatkan kegunaannya semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia. Dalam mengatasi segalanya harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekoalat itu dengan baik atau tidak. Menolak kehadiran ilmu dengan picik bearti kita menutup mata terhadap kemajuan masa kini, yang ditandai oleh kenyataan bahwa hampir semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya dengan jalan mendewa-dewakna ilmu, kita pun gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai hakikat ilmu yang sesungguhnya.

Mereka yang sungguh-sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu, dan menerimanya sebagaimana adanya, mencintainya dengan kebijaksanaan, serta menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian dan kehidupannya. Bersama-sama pengetahuan lainnya, dan bersama pelengkap kehidupan lainnya seperti seni dan agama, ilmu melengkapii kehidupan lainnya sepeti seni dan agama, ilmu melengkapi kehidupan dan memenuhi kebahagian kita. Tanpa kesadaran itu, maka kita hanya akan kembali kepada ketidaktahuandan kesengsaraan, seperti disyairkan Bryon dalam Manfred : “ bahwa pengetahuan tak membawa kita ke kebahaigan, dan ilmu tidak lebih dari sekedar bentuk lai dari ketidaktahuan.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjabaran diatas, penyusun menyimpulkan bahwa :
  1. Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada (wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas).
  2. Adapun masalah yang terjadi pada ontologi yaitu mengenai Jumlah dan ragam, Pertentangan, Hampiran.
  3. Aliran dalam filsafat Monoisme Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan Agnostisime
  4. Terdapat 3 hal yang berkaitan dalam mempelajari ontologi ilmu, yaitu: Metafisika, Probabilitas dan Asumsi
  5. Ilmu telepas dari berbagai kekurangan, dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini penilaian terhadap ilmu tidaklah terletak dalam kesahihan teorinya sepanjang zaman, melainkan terletak dalam jawaban yang diberikannya terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah ini, penyusun menyadari masih terdapat banyak kekurangan karena kurangya pengetahuan yang penyusun miliki. Maka dari itu penyusun meminta saran dan kritik dalam penyempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsall (2005).Filsafat Ilmu.Jakarta :PT RajaGrafindo Persada
Salam,Burhanuddin (1997).logika materiil (filsafat ilmu pengetahuan ). Jakarta : Rineka Cipta
Wikipedia. (2011). “Ontologi”. http://id.wikipedia.org/wiki/Ontologi. Diakses tanggal 25 Agustus 2014
Winarto, Joko. (2011). “Ontologi”. http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/ontologi/. Diakses tanggal 25 Agustus 2014.
×
Artikel Terbaru Update