Saat ada kerabat, keluarga, sanak saudara atau orangtua meninggal dunia, masalah pembagian harta warisan tentu menjadi permasalahan yang cukup rumit. Tidak sedikit, hanya karena harta warisan, hubungan persaudaraan menjadi berantakan.
Untuk mencegah serta mengatasi permasalahan semacam hal d iatas dan permasalahn lain yang bisa terjadi maka Negara sebagai lembaga tertinggi dan agama sebagai jalan atau wadah yang menutun umatnya ke jalan yang benar, tentu saja memiliki seperangkat aturan atau hukum yang mengatur tentang harta yang ditinggalkan oleh seseorang.
Agama juga memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia termasuk dalam perkara harta warisan. Hukum waris merupakan bagian dari hukum kekayaan, akan tetapi erat sekali kaitannya dengan hukum keluarga. Mengingat banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka ini mempengaruhi hukum kewarisan di masyarakat, sehingga pewarisan yang ada dan berlaku di masyarakat ialah pewarisan campuran dari Agama Hindu, Buddha, Kristen/Katolik, dan Islam.
Sedangkan peran adat dalam hal waris atau pembagian harta, tergantungan dengan suku dan budaya masing-masing. Ada yang tertulis maupun tidak atau berdasarkan lisan dan pengalaman turun temurun. Mengingat Indonesia sendiri begitu banyak suku dan budaya sehingga secara umum pembagian harta warisan jika menggunakan adat menemui jalan buntu, maka hukum agama dan negara yang akan menjadi landasan dalam hal hak waris dan pembagiannya.
Agama juga memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia termasuk dalam perkara harta warisan. Hukum waris merupakan bagian dari hukum kekayaan, akan tetapi erat sekali kaitannya dengan hukum keluarga. Mengingat banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka ini mempengaruhi hukum kewarisan di masyarakat, sehingga pewarisan yang ada dan berlaku di masyarakat ialah pewarisan campuran dari Agama Hindu, Buddha, Kristen/Katolik, dan Islam.
Sedangkan peran adat dalam hal waris atau pembagian harta, tergantungan dengan suku dan budaya masing-masing. Ada yang tertulis maupun tidak atau berdasarkan lisan dan pengalaman turun temurun. Mengingat Indonesia sendiri begitu banyak suku dan budaya sehingga secara umum pembagian harta warisan jika menggunakan adat menemui jalan buntu, maka hukum agama dan negara yang akan menjadi landasan dalam hal hak waris dan pembagiannya.
Harta warisan sendiri berdasarkan definisinya adalah harta benda yang ditinggalkan orang yang telah wafat (pewaris) untuk diberikan kepada ahli warisnya. Terkait harta bendanya, bisa berupa aset bergerak seperti mobil, deposito, logam mulia, hingga uang. Atau bisa juga aset tidak bergerak, misalnya rumah, tanah, ruko, dan bangunan lainnya. Namun perlu diketahui juga, bahwa utang atau kewajiban sang pewaris juga dikategorikan sebagai harta warisan. Pada prosesnya, pembagian harta warisan akan berpatok pada hukum waris yang berlaku.
Hukum waris menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, ialah hukum yang mengatur mengenai kekayaan seseorang setelah ia meninggal, mengenai bagaimana memindahkan kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia.
Pengertian surat wasiat atau testament menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) diatur dalam pasal 875 BW yang isinya bahwa surat wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang harta yang akan ditinggalkan kepada ahli warisnya dimana surat pernyataan tersebut dimungkinkan untuk ditarik kembali.
Surat wasiat atau testament merupakan suatu akta yang dibuat sebagai pembuktian apabila dikemudian hari si pembuat wasiat meninggal serta pembuatannya diperlukan campur tangan dari seorang pejabat resmi dalam hal ini yang sering dijumpai di masyarakat adalah Notaris.
Dalam membuat wasiat tidak bisa dengan sembarangan sehingga merugikan pada pihak lainnya yang lebih berhak, seperti yang diatur dalam pasal 874 BW yang menerangkan tentang artinya wasiat atau testament.
Sedangkan menurut syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik itu berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang mendapat wasiat sesudah orang yangberwasiat tersebut meniggal. (Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi. (2010). Al-Wajiz. Jakarta Timur: Pustaka As-Sunnaah. hlm. 789)
Sedangkan ilmu waris ialah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang[1]orang yang berhak mendapatkannya. [Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. (2007). Shahih Fikih Sunnah, jilid 3, Jakarta: Pustaka Azzam. hlm. 682.]
Faraidh adalah bagian yang ditentukan prosentasenya untuk ahli waris (waratsah). Harta yang diwariskan juga biasa disebut dalam bahasa fikih dengan istilah irts, mirats, dan tirkah (harta pusaka). [Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. (2007). hlm. 683.].
Sedangkan warisan adalah harta apapun yang sewaktu pemiliknya meniggal diteruskan kepada ahli waris atau orang yang berhak untuk mendapatkannya, apapun yang diterima dari leluhur. [https://wol.jw.org/it/wol/d/r25/lp-in/1200002171/ Pemahaman Alkitab. Jilid 2p. 1141].
1. Pengertian Wasiat dan Waris
a. Pengertian Wasiat dan waris menurut Negara
Waris menurut Hukum Perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum. Umumnya di bidang hukum harta kekayaan karena kematian seseorang, yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mendiang beserta akibat bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga.Hukum waris menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, ialah hukum yang mengatur mengenai kekayaan seseorang setelah ia meninggal, mengenai bagaimana memindahkan kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia.
Pengertian surat wasiat atau testament menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) diatur dalam pasal 875 BW yang isinya bahwa surat wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang harta yang akan ditinggalkan kepada ahli warisnya dimana surat pernyataan tersebut dimungkinkan untuk ditarik kembali.
Surat wasiat atau testament merupakan suatu akta yang dibuat sebagai pembuktian apabila dikemudian hari si pembuat wasiat meninggal serta pembuatannya diperlukan campur tangan dari seorang pejabat resmi dalam hal ini yang sering dijumpai di masyarakat adalah Notaris.
Dalam membuat wasiat tidak bisa dengan sembarangan sehingga merugikan pada pihak lainnya yang lebih berhak, seperti yang diatur dalam pasal 874 BW yang menerangkan tentang artinya wasiat atau testament.
b. Pengertian Wasiat dan Waris Menurut Islam
Kata wasiat diambil dari kata أوصيه , aushaytuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka orang yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu hidup untuk dilaksanakan setelah meniggal. (Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi. (2010). Al-Wajiz. Jakarta Timur: Pustaka As-Sunnaah. hlm. 789))Sedangkan menurut syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik itu berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang mendapat wasiat sesudah orang yangberwasiat tersebut meniggal. (Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi. (2010). Al-Wajiz. Jakarta Timur: Pustaka As-Sunnaah. hlm. 789)
Sedangkan ilmu waris ialah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang[1]orang yang berhak mendapatkannya. [Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. (2007). Shahih Fikih Sunnah, jilid 3, Jakarta: Pustaka Azzam. hlm. 682.]
Faraidh adalah bagian yang ditentukan prosentasenya untuk ahli waris (waratsah). Harta yang diwariskan juga biasa disebut dalam bahasa fikih dengan istilah irts, mirats, dan tirkah (harta pusaka). [Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. (2007). hlm. 683.].
c. Pengertian Wasiat dan Waris Menurut Kristen/Katolik
Haag atau surat wasiat, adalah penyerahan kehendak terakhir secara tertulis. [alkitab.sabda.org/dictionary.php?word =Surat %20Wasiat.]Sedangkan warisan adalah harta apapun yang sewaktu pemiliknya meniggal diteruskan kepada ahli waris atau orang yang berhak untuk mendapatkannya, apapun yang diterima dari leluhur. [https://wol.jw.org/it/wol/d/r25/lp-in/1200002171/ Pemahaman Alkitab. Jilid 2p. 1141].
d. Pengertian Wasiat dan Waris Menurut Hindu
Istilah hibah menurut bahasa sansekerta disamakan dengan ‘dhana’, sedangkan dhana artinya ‘harta/kebendaan’. Jadi dhana adalah harta yang diperoleh sebagai pemberian berdasarkan hukum agama. Maka penghibahan adalah jenis ‘pemberian hadiah’.Hukum waris adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari satu generasi kepada generasi setelahnya. [Ketut Sudiatmaka. (2016). Realisasi Keputusan Pesamun Agung III MUDP Bali No.01/Kep/Psm-3 MDP bali/x/2010 Terkait dengan Anak Perempuan Termasuk Berhak Mewarisi. Singaraja: Undiksha. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. 5(01). hlm. 773.].
Merujuk Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, harta warisan adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Sesuai Pasal 830 KUHPerdata, yang berhak disebut sebagai ahli waris adalah sebagai berikut:
Pembagian warisan menurut Hukum Perdata juga tidak membedakan porsi antara laki-laki dan perempuan, sehingga dilakukan secara adil dan seimbang.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementrian Keuangan menyatakan bahwa harta warisan bukan merupakan objek pajak. Penerapan pajak baru akan dikenakan kepada ahli waris jika warisan itu belum terbagi. Adapun aturan tersebut tertuang dalam UU PPh No 36 tahun 2008 pada pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa harta warisan merupakan bukan objek pajak.
Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Waris yang sah terbitan Notaris dan dibuat sebelum pengakuan kepemilikannya. Walaupun warisan tersebut merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi ahli waris, namun tidak merupakan objek pajak.
Warisan yang dimaksud ini adalah meliputi semua jenis harta baik itu harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Walaupun warisan dikategorikan ke dalam bukan objek pajak, namun tetap harus diperhatikan, apakah warisan tersebut sudah dibagikan ataukah belum.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 180:
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu[1]bapak, dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. [Cahaya Qur’an. (2014). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama Jakarta. hlm. 27.]
Adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang wasiat di antaranya dalam Shahih Al-Bukhari No. 2738 dan Shahih Muslim No. 1627:
Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar rodhiallahu an’hu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Tidak patut bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu (harta) untuk ia wasiatkan, bermalam satu atau dua malam melainkan wasiatnya sudah tertulis di dekatnya.” [Abdullah Alu Bassam. (2013). Fikih Hadits Bukhari-Muslim. Jakarta: Aqwam. hlm. 843.] Disyariatkannya wasiat berdasarkan ijmak para ulama dan disyariatkan untuk menyegerakan pelaksanaan wasiat. Wasiat terbagi menjadi dua: pertama, sunah yaitu wasiat berkenaan dengan amalan sunnah, kedua, wajib berkaitan dengan hal yang wajib. [Syaikh Al-Hafid Abdulghani Al-Maqdis. (2015). Umdatul Ahkam. Sukoharjo: Al-Aqwam. hlm. 312].
Dan dasar hukum waris Islam, antara lain dalam nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak antara lain dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisa Ayat 33:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu, bapak, dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. [Cahaya Qur’an. (2014). hlm. 83].
Adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang waris di antaranya dalam Shahih Bukhari No. 6235 Shahih Muslim No.3027:
Dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
"Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, sedang sisanya, maka ia untuk ahli waris laki-laki yang terdekat.[ Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani. (2013). Syarah Ringkas Bulughul Maram. Kitab: Jual Beli. Bab: Faraidh. Jakarta: Pustaka as-Sunnah. hlm. 699.]
Para shahabat, tabiin, dan para ulama sebagai warasatul anbiya (pewaris para nabi) telah berijmak tentang pensyariatan waris ini.[Ahmad Sarwat. (2013). Kitab Hukum Waris.Jakarta: Yayasan Masjidillah Indonesia. hlm. 27.]
Pasal 1: Pada hari-hari itu Hizkia sakit hampir mati. Lalu datanglah Nabi Yesaya bin Amosn dan berkata kepadanya:
"Beginilah firman TUHAN Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi". [Pemerintah RI. (1974). Alkitab Terjemahan Baru. Djakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. hlm. 136.]
Adapun dalam Kitab Hukum Kanonik Katolik di antaranya
Kan. 1299. Pasal 1: Yang dari hukum kodrati dan hukum kanonik dapat menentukan dengan bebas penggunaan harta bendanya, dapat menyerahkan harta benda untuk karya-karya saleh, baik lewat hibah maupun lewat wasiat.
Sedangkan dasar hukum waris di dalam Al-Kitab terdapat dalam kejadian 15:
Pasal 2: Abram menjawab: "Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan mati dengan tidak mempunyai keturunan, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu."
Pasal 3: Lagi kata Abram: "Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku."
Pasal 4: Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, "Dia tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu." [Pemerintah RI. (1974). hlm. 55.]
Dan dalam Kitab Hukum Kanonik Katolik seperti Kan. 122:
a. Agar harta-benda dan hak warisan bersama yang dapat dibagi, demikian juga utang dan tanggungan lainnya, dibagi di antara badan-badan hukum yang bersangkutan secara adil dengan keseimbangan yang tepat, dengan memperhatikan seluruh keadaan dan kepentingan keduanya. [Regio Jawa danTim Temu Kanonis. (2005). Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. hlm. 23].
Jadi dhana adalah harta yang diperoleh sebagai pemberian berdasarkan hukum agama. Maka penghibahan adalah jenis ‘pemberian hadiah’. Dan yang dapat melakukan pemberian hadiah/hibah adalah ayah, itupun terbatas pada harta tertentu yang bukan harta pusaka milik bersama. Ibu dan anak tidak berhak memberikan harta keluarga. (Hilman Hadi Kusuka. (1991). Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. PT. Citra Aditya Bakti Bandung. hlm. 154.)
Dasar berlakunya pewarisan dengan pembagian harta peninggalan, antara lain sebagaimana diatur dalam Manava Dharmasastra (Hilman Hadi Kusuka. (1991). hlm. 244.) adalah sebagai berikut:
2. Dasar Hukum Wasiat dan Waris
a. Menurut Negara
Pasal yang mengatur tentang waris tertulis dalam 300 pasal, yang dimulai dari Pasal 830 sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata. Di samping itu, waris juga diatur dalam Inpres no. 1 Tahun 1991.Merujuk Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham RI, harta warisan adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Sesuai Pasal 830 KUHPerdata, yang berhak disebut sebagai ahli waris adalah sebagai berikut:
- Para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin (Pasal 852 perdata)
- Suami atau istri yang hidup terlama
- Golongan pertama, terdiri dari suami/istri dan keturunannya
- Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara, dan keturunan saudara
- Golongan ketiga, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya
- Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam.
Pembagian warisan menurut Hukum Perdata juga tidak membedakan porsi antara laki-laki dan perempuan, sehingga dilakukan secara adil dan seimbang.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementrian Keuangan menyatakan bahwa harta warisan bukan merupakan objek pajak. Penerapan pajak baru akan dikenakan kepada ahli waris jika warisan itu belum terbagi. Adapun aturan tersebut tertuang dalam UU PPh No 36 tahun 2008 pada pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa harta warisan merupakan bukan objek pajak.
Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Waris yang sah terbitan Notaris dan dibuat sebelum pengakuan kepemilikannya. Walaupun warisan tersebut merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi ahli waris, namun tidak merupakan objek pajak.
Warisan yang dimaksud ini adalah meliputi semua jenis harta baik itu harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Walaupun warisan dikategorikan ke dalam bukan objek pajak, namun tetap harus diperhatikan, apakah warisan tersebut sudah dibagikan ataukah belum.
b. Menurut Agama Islam
Adapun dasar hukum wasiat dalam Islam, terdapat dalam nash Al-Qur’an, As[1]Sunnah, dan ijmak antara lain:Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 180:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu[1]bapak, dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. [Cahaya Qur’an. (2014). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama Jakarta. hlm. 27.]
Adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang wasiat di antaranya dalam Shahih Al-Bukhari No. 2738 dan Shahih Muslim No. 1627:
Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar rodhiallahu an’hu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Tidak patut bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu (harta) untuk ia wasiatkan, bermalam satu atau dua malam melainkan wasiatnya sudah tertulis di dekatnya.” [Abdullah Alu Bassam. (2013). Fikih Hadits Bukhari-Muslim. Jakarta: Aqwam. hlm. 843.] Disyariatkannya wasiat berdasarkan ijmak para ulama dan disyariatkan untuk menyegerakan pelaksanaan wasiat. Wasiat terbagi menjadi dua: pertama, sunah yaitu wasiat berkenaan dengan amalan sunnah, kedua, wajib berkaitan dengan hal yang wajib. [Syaikh Al-Hafid Abdulghani Al-Maqdis. (2015). Umdatul Ahkam. Sukoharjo: Al-Aqwam. hlm. 312].
Dan dasar hukum waris Islam, antara lain dalam nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak antara lain dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisa Ayat 33:
وَلِكُلٍّ جَعَلۡنَا مَوَالِىَ مِمَّا تَرَكَ الۡوَالِدٰنِ وَالۡاَقۡرَبُوۡنَ ؕ وَالَّذِيۡنَ عَقَدَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ فَاٰ تُوۡهُمۡ نَصِيۡبَهُمۡؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ شَهِيۡدًا
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu, bapak, dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. [Cahaya Qur’an. (2014). hlm. 83].
Adapun hadits-hadits yang menerangkan tentang waris di antaranya dalam Shahih Bukhari No. 6235 Shahih Muslim No.3027:
Dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
"Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, sedang sisanya, maka ia untuk ahli waris laki-laki yang terdekat.[ Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani. (2013). Syarah Ringkas Bulughul Maram. Kitab: Jual Beli. Bab: Faraidh. Jakarta: Pustaka as-Sunnah. hlm. 699.]
Para shahabat, tabiin, dan para ulama sebagai warasatul anbiya (pewaris para nabi) telah berijmak tentang pensyariatan waris ini.[Ahmad Sarwat. (2013). Kitab Hukum Waris.Jakarta: Yayasan Masjidillah Indonesia. hlm. 27.]
c. Menurut Agama Kristen/Katolik
Dasar hukum wasiat dalam Kristen/Katolik terdapat dalam Al-Kitab antara lain Yesaya 38:Pasal 1: Pada hari-hari itu Hizkia sakit hampir mati. Lalu datanglah Nabi Yesaya bin Amosn dan berkata kepadanya:
"Beginilah firman TUHAN Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi". [Pemerintah RI. (1974). Alkitab Terjemahan Baru. Djakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. hlm. 136.]
Adapun dalam Kitab Hukum Kanonik Katolik di antaranya
Kan. 1299. Pasal 1: Yang dari hukum kodrati dan hukum kanonik dapat menentukan dengan bebas penggunaan harta bendanya, dapat menyerahkan harta benda untuk karya-karya saleh, baik lewat hibah maupun lewat wasiat.
Sedangkan dasar hukum waris di dalam Al-Kitab terdapat dalam kejadian 15:
Pasal 2: Abram menjawab: "Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan mati dengan tidak mempunyai keturunan, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu."
Pasal 3: Lagi kata Abram: "Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku."
Pasal 4: Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, "Dia tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu." [Pemerintah RI. (1974). hlm. 55.]
Dan dalam Kitab Hukum Kanonik Katolik seperti Kan. 122:
a. Agar harta-benda dan hak warisan bersama yang dapat dibagi, demikian juga utang dan tanggungan lainnya, dibagi di antara badan-badan hukum yang bersangkutan secara adil dengan keseimbangan yang tepat, dengan memperhatikan seluruh keadaan dan kepentingan keduanya. [Regio Jawa danTim Temu Kanonis. (2005). Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. hlm. 23].
d. Menurut Agama Hindu
Dalam Manawa Dharmasastra, disebutkan, ada tujuh cara yang sah dalam memperoleh hak milik yaitu pewarisan, perjumpaan atau hadiah persahabatan, pembelian, penaklukan, peminjaman dengan bunga, melakukan pekerjaan, dan menerima hadiah dari orang-orang saleh. [G Pudja dan Sudharta, Tjokorda Rai. (1973). Manava Darmasastra. Surabaya: Pramita. hlm. 546.]Jadi dhana adalah harta yang diperoleh sebagai pemberian berdasarkan hukum agama. Maka penghibahan adalah jenis ‘pemberian hadiah’. Dan yang dapat melakukan pemberian hadiah/hibah adalah ayah, itupun terbatas pada harta tertentu yang bukan harta pusaka milik bersama. Ibu dan anak tidak berhak memberikan harta keluarga. (Hilman Hadi Kusuka. (1991). Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. PT. Citra Aditya Bakti Bandung. hlm. 154.)
Dasar berlakunya pewarisan dengan pembagian harta peninggalan, antara lain sebagaimana diatur dalam Manava Dharmasastra (Hilman Hadi Kusuka. (1991). hlm. 244.) adalah sebagai berikut:
- Setelah kematian seorang bapak, ibu, dan saudara-saudara karena setelah berkumpul, dapat membagi-bagi di antara mereka sebanding yang sama dengan kekayaan orang tuanya karena tidak ada kekuasaan pada mereka atas harta itu selagi orang tuanya masih ada.
- Atau saudara laki-laki tertua sendiri dapat menguasai semua harta orang tuanya, sedangkan anak yang lain akan hidup di bawah asuhannya seperti halnya sebagai orang tua masih ada. [G Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta. (1973). Manava Darmasastra. Surabaya: Pramita. hlm. 464.]
e. Menurut Agama Budha
Dalam agama Budha tidak ditemukan dasar hukum ataupun landasan wasiat dan waris seperti halnya agama Islam, Kristen,dan Hindu. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan adanya pewasiatan dan pewarisan dalam masyarakat yang memeluk agama Budha, karena selain kita juga seorang pemeluk agama, sebagai warga Negara Indonesia yang mana wasiat dan waris merupakan suatu perbuatan yang legal formal sebagaimana yang tercantum dalam KUHP perdata.3. Pembagian Wasiat dan Waris
a. Menurut Negara (Hukum Perdata)
Pasal 1066 KUHPerdata menentukan/isinya dapat disimpulkan :- Tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta warisan tidak terbagi
- Pembagian harta warisan dapat dibagi sewktu-waktu
- Dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan dengan jangka waktu 5 tahun, tenggang waktu ini dapat diperpanjang 5 tahun lagi dengn persetujuan sebua ahli waris
Golongan ahli waris menurut Hukum Perdata dapat dibedakan atas empat golongan.
- Golongan I Ahli Waris suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
- Golongan II Ahli Waris Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian.
- Golongan III Ahli Waris Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
- Golongan IV Ahli Waris Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya. KUHPerdata tidak menentukan cara tertentu dalam pembagian warisan, jika ternyata semua ahli waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya berada ditempat (hadir) pada saat pembegian warisan tersebut maka cara pembagian warisan diserahkan kepada mereka sendiri, tetapi dalam hal ada dianrata ahli waris anak-anak di bawah umur atau ada yang ditaruh di bawah curatele (pengampuan), maka pembagian warisan harus dilakukan dengan suatu akta notaris dan dihadapan wees kamer (Balai Harta peninggalan).
Menurut UU yang diharuskan melakukan inbreng adalah para ahli waris dalam garis lurus kebawah, dengan tidak membedakan apakah mewaris secara penuh atau menerima dengan catatan, tetapi pewaris berhak untuk menentukan bahwa ahli waris yang telah menerima pemberian-pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari inbreng.
Sifat peraturan inbreng berbeda dengan peraturan legitieme protie : untuk melindungi kepentingan ahli waris yang mempunyai hubungan yang sngat rapat dengan pewaris karenanya peraturan tersebut bersifat memaksa artinya tidak dapat disingkirkan.
Seseorang yang pernah menerima pemberian benda sewaktu hidup tidak perlu melakukan inbreng jika ia bukan ahli waris, ia hanya dapat dituntut pengurangan jika ternyata pemberian itu melanggar legitieme portie.
Pasal 1079 KUHPerdata, cara pembagian warisan :
- Masing-masing ahli wris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama rata seperti misalnya seperdua harta warisan jika ahli waris hanya terdiri dari dua orang saja, seperlima jika ahli waris terdiri dari lima orang, demikian selanjutnya.
- Bila diantara ahli waris ada yang menerima barang/harta waris lebih dari bagiannya, di pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari bagiannya maka ahli waris yang menerima bagian yang lebih diharuskan memberikan sejumlah uang tunai pada yang mendapat kurang dari bagiannya Jika terdapat perselisihan tentang siapa di antara mereka yang mendapat barang tertentu selaku bagiannya, maka hal iniharus diundi. Apabila tidak ada kata sepakat mengenai penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan kepada masing[1]masing ahli waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan negeri.
Pasal 1083 KUHPerdata menegaskan : apabila pembagian warisn sudah terjadi, maka masing-masing ahli waris dinggap sebagai pemilik barang yang diterimanya sejak saat pewaris meninggal.
b. Menurut Agama Islam
Harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga. Sebagaimana dalam Shaih Bukhari No. 2539 dan Shahih Muslim No.3076 dikemukakan sebagai berikutDari Sa’ad bin Abi Waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: dia berkata: “Aku berkata: wahai Rasulullah, aku memiliki harta. Tidak ada yang mewarisi hartaku kecuali seorang anak perempuan. Apakah boleh aku sedekahkan dua pertiga dari hartaku? Beliau bersabda: "Tidak". Dia berkata: ‘Apakah boleh aku bersedekah dengan separuh dari hartaku?. Beliau bersabda: "Tidak". Dia berkata: Apakah boleh aku bersedekah sepertiga dari hartaku?. Beliau bersabda: "Ya, sepertiga saja, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan keturunanmu dalam berkecukupan lebih baik dari meninggalkan mereka dalam keadaan fakir hingga meminta-minta kepada orang lain. [Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani. (2013). hlm. 709.]
Disunahkan bagi orang yang mempunyai ahli waris untuk berwasiat dengan seperlima, atau seperempat hartanya bila meninggalkan harta yang banyak menurut penilaian adat setempat, sedangkan seperlima lebih baik. Dan boleh berwasiat dengan sepertiga harta kepada kerabat selain ahli waris. Boleh berwasiat dengan semua hartanya bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Tapi tidak boleh berwasiat kepada selain ahli waris lebih dari sepertiga. [Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At[1]Tuwaijiri. (2014). Ensiklopedia Islam Al-Kamil. Jakarta: Darus Sunnah Pres. hlm. 969.]
Wasiat hanya untuk orang lain atau di luar ahli waris sebagaimana Hadist Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali An-Nasa'i. Hadits hasan menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud:
Dari Abu Umamah al-Bahili Radliyallaahu 'anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap orang hak masing-masing dan tidak ada wasiat untuk ahli waris. [Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani. (2013). hlm. 710.]
Jenis bagian harta warisan dalam Islam ada dua macam, bagian fardh dan bagian ‘ashabah. [Muhammad bin Shalih Al-Útsaimin. (2015). Panduan Praktis Hukum Waris. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. hlm. 45.]
Adapun pembagian warisan menurut Islam adalah sebagai berikut:
1. Bagian Anak Laki-Laki
Mendapat ashabah (semua harta waris), jika ia hanya sendiri dan tidak ada ahli waris yang lain, maka ia berhak mendapatkan seluruh harta warisan. Jika ada salah seorang ahli waris, maka ia hanya mendapat sisa warisan, termasuk anak-anak yang lain jika ada dengan ketentuan bahwa anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan. [Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. (2007). hlm. 711.]
2. Anak Perempuan
Pasal 176: Bila hanya seorang dia mendapat setengah bagian, bila dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua berbanding satu. [ Pemerintah RI. (2013). Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusindo Mandiri. hlm. 68.]
3. Ayah
Pasal 177: Ayah bisa mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan keturunan, bila ada keturunan, ayah mendapat seperenam bagian.
4. Ibu
Pasal 178: (a). Ibu mendapat seperenam bagian bila ada keturunan atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada keturunan atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat seprtiga bagian. (b). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh istri atau suami bila Bersama-sama dengan ayah.
5. Suami/Duda
Pasal 179: Mendapat setengah bagian, bila pewaris tidak meninggalkan keturunan, dan bila pewaris meninggalkan keturunan, maka suami mendapat seperempat bagian.
6. Istri/Janda
Pasal 180: Istri mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan keturunan, dan bila pewaris meninggalkan keturunan, maka istri mendapatkan seperdelepan bagian.
7. Saudara Laki-laki dan Saudara Perempuan Seibu
Pasal 181: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan bapak, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. [Pemerintah RI. (2013). hlm. 69.]
8. Saudara Perempuan Kandung atau SeayahPasal 182: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan bapak dan keturunan sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau bapak, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau sebapak dua orang atau lebih, maka mereka Bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau bapak maka saudara bagian laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. [Pemerintah RI. (2013). hlm. 70.]
Sebelum harta warisan itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terlebih dahulu mesti dikeluarkan sebagai peninggalan dari mayit, yakni:
- Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenazah
- Wasiat dari orang yang meninggal
- Utang piutang sang mayit.
Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi, selanjutnya pembagian harta warisan bisa dilakukan kepada ahli waris yang berhak. Mengutip Pengadilan Agama Jakarta Timur, hukum kewarisan sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (al-ahwalus syahsiyah) sangat penting dipelajari agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya.
Pasalnya, dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka ahli waris dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris atau pewaris, dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Lebih jauh, hal ini juga ditegaskan Rasulullah SAW,
“Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan an-Nasa’i)”.
Hukum Kewarisan Sesuai KHI
Pasalnya, dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka ahli waris dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris atau pewaris, dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Lebih jauh, hal ini juga ditegaskan Rasulullah SAW,
“Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan an-Nasa’i)”.
Hukum Kewarisan Sesuai KHI
Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Dalam pasal 171 KHI, ada beberapa ketentuan umum mengenai kewarisan ini, diantaranya:
Dalam Bilangan Surat 27:
Pasal 8: Dan kepada orang Israel kamu harus berkata: Apabila seseorang meniggal dengan tidak mempunyai keturunan laki[1]laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada keturunannya yang perempuan.
Pasal 9: Apabila dia tidak mempunyai keturunan perempuan, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudaranya yang laki-laki.
Pasal 10: Dan apabila ia tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudara lelaki bapaknya.
Pasal 11: Dan apabila bapaknya tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada kerabatnya yang terdekat dari antara keluarganya, supaya dimilikinya. Itulah yang harus menjadi ketetapan hukum bagi orang Israel, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Nabi Musa. [Pemerintah RI. (1974). Alkitab Terjemahan Lama. Djakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Bilangan: 27. hlm. 162.]
Anak laki-laki yang statusnya purusa dapat seluruh harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun, dan mengelola sepertiga harta guna karya atau due tengah.[ Ni Nengah Budawati, dkk. (2012). Payung Adat untuk Keluarga Bali. Denpasar: LBH APIK Bali. hlm. 24.]
2. Hak Waris Anak Laki-laki Bukan Purusa
Mendapatkan dua pertiga harta guna karya orang tua dibagi antara anak laki-laki dan anak perempuan, tapi bagian anak perempuan separoh bagian anak laki-laki. [Ni Nengah Budawati, dkk. (2012). hlm. 25.]
3. Hak Waris Perempuan Hindu
Menerima dua pertiga harta guna karya bersama anak laki-laki bukan purusa. Dan janda mendapatkan satu bagian. Jika tidak mempunyai anak laki-laki maka semua warisan jatuh ke tangan anak perempuan. Tidak mendapatkan warisan jika bertingkah tidak baik dan meniggalkan rumah atau pindah agama. [Ni Kadek Setyaawati. (2017). hlm. 622.]
Ini lantaran di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai sifat kekerabatan yang dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan, sebagaimana dikutip dari jurnal Repository IAIN Salatiga karya Sigit Sapto Nugroho, sebagai berikut:
Berdasarkan definisinya, hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya, terlepas dari hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris, sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari Pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.
Pembagian harta warisan secara tepat dan sesuai dengan hukum yang berlaku patut dipertimbangkan untuk meminimalkan kemungkinan persengketaan antar anggota keluarga di masa mendatang.
Persamaan mengenai Waris, ahli waris dan pembagiannya
a. Dalam Islam wasiat hanya diperuntukan bagi mereka yang di luar ahli waris, walaupun dalam KHI diperbolehkan dengan syarat wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli,[ Pemerintah RI. (2013). Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusindo Mandiri. hlm. 73.] dan pewasiat tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga dari hartanya.
Berbeda dengan Kristen/Katolik, wasiat dalam Kristen/Katolik adalah sesuatu yang mutlak tergantung keinginan sang pewasiat, karena dalam Kristen/Katolik “Surat wasiat yang telah disahkan, sekalipun ia dari manusia, tidak dapat dibatalkan atau ditambah oleh seorangpun”. [Pemerintah RI. (1974). Alkitab Terjemahan Baru. Djakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. hlm. 11.]
Sedangkan dalam Hindu dan Budha tidak dijumpai landasan hukum tentang wasiat.
b. Pewarisan dalam Islam dan Hindu hanya bisa dilakukan setelah orang tua meninggal, sedangkan dalam Kristen/Katolik bisa dilakukan oleh orang tua ketika masih hidup, dengan alasan agar tidak terjadi sengketa waris pada ahli waris.
c. Harta warisan dalam Islam, Kristen/Katolik meliputi semua harta yang ditinggalkan orang yang meninggal, sedangkan dalam Hindu, harta warisan terbagi menjadi dua bagian harta pusaka yang tidak boleh dibagi-bagi (hanya untu anak purusa), dan harta due tengah (bukan harta turun temurun dari leluhur). Harta yang bisa dibagi oleh para ahli waris.
d. Kemudian pembagian harta warisan dalam Islam, baik anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama mempunyai hak waris, sedangkan dalam Kristen/Katolik anak perempuan tidak berhak mendapatkan warisan jika ada anak laki-laki. Adapun dalam Hindu harta pusaka hanya untuk anak laki-laki purusa dan anak perempuan yang belum kawin, maka hanya mendapat dua pertiga dari harta due tengah bersama anak laki-laki bukan purusa dan mempunyai hak menikmati saja, sedangkan anak perempuan yang kawin, maka dia hidup di bawah perlindungan keluarga suaminya.
- Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
- Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
- Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
- Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
- Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
- Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
- Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
- Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
c. Menurut Agama Kristen/Katolik
Dalam Taurat Perjanjian Lama orang Ahli Alkitab, didapatkan pada Kitab Bilangan mengacu pada pemindahan kepemilikan harta mayit kepada ahli waris dalam keluarga Israel, adanya keturunan laki-laki menghalangi anak perempuan mendapatkan harta waris orang tuanya. Ketika tidak ada anak laki-laki Barulah harta warisan diberikan pada anak perempuan. Berikut kisah dalam Taurat. [http://novitasuslapa.blogspot.com/2016/03/ hukum-waris-menurut-kristen.html.]Dalam Bilangan Surat 27:
Pasal 8: Dan kepada orang Israel kamu harus berkata: Apabila seseorang meniggal dengan tidak mempunyai keturunan laki[1]laki, maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada keturunannya yang perempuan.
Pasal 9: Apabila dia tidak mempunyai keturunan perempuan, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudaranya yang laki-laki.
Pasal 10: Dan apabila ia tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada saudara-saudara lelaki bapaknya.
Pasal 11: Dan apabila bapaknya tidak mempunyai saudara-saudara lelaki, maka haruslah kamu memberikan milik pusakanya itu kepada kerabatnya yang terdekat dari antara keluarganya, supaya dimilikinya. Itulah yang harus menjadi ketetapan hukum bagi orang Israel, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Nabi Musa. [Pemerintah RI. (1974). Alkitab Terjemahan Lama. Djakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Bilangan: 27. hlm. 162.]
d. Menurut Agama Hindu
1. Hak Waris Anak Laki-laki PurusaAnak laki-laki yang statusnya purusa dapat seluruh harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun, dan mengelola sepertiga harta guna karya atau due tengah.[ Ni Nengah Budawati, dkk. (2012). Payung Adat untuk Keluarga Bali. Denpasar: LBH APIK Bali. hlm. 24.]
2. Hak Waris Anak Laki-laki Bukan Purusa
Mendapatkan dua pertiga harta guna karya orang tua dibagi antara anak laki-laki dan anak perempuan, tapi bagian anak perempuan separoh bagian anak laki-laki. [Ni Nengah Budawati, dkk. (2012). hlm. 25.]
3. Hak Waris Perempuan Hindu
Menerima dua pertiga harta guna karya bersama anak laki-laki bukan purusa. Dan janda mendapatkan satu bagian. Jika tidak mempunyai anak laki-laki maka semua warisan jatuh ke tangan anak perempuan. Tidak mendapatkan warisan jika bertingkah tidak baik dan meniggalkan rumah atau pindah agama. [Ni Kadek Setyaawati. (2017). hlm. 622.]
e. Pembagian Harta Warisan Menurut Adat
Pada beberapa kondisi di lapangan, ada sebagian masyarakat yang memilih untuk mengikuti hukum adat sebagai patokan dalam pembagian harta warisan. Dalam materi Hukum Adat, disebutkan bahwa di dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat satu sifat kekerabatan/kekeluargaan yang sama.Ini lantaran di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai sifat kekerabatan yang dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan, sebagaimana dikutip dari jurnal Repository IAIN Salatiga karya Sigit Sapto Nugroho, sebagai berikut:
- Patrilinial, menarik dari garis keturunan bapak
- Matrilinial, menarik dari garis keturunan ibu
- Parental, menarik garis keturunan kedua belah pihak yaitu bapak dan Ibu
Berdasarkan definisinya, hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya, terlepas dari hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris, sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari Pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.
Pembagian harta warisan secara tepat dan sesuai dengan hukum yang berlaku patut dipertimbangkan untuk meminimalkan kemungkinan persengketaan antar anggota keluarga di masa mendatang.
Persamaan mengenai Waris, ahli waris dan pembagiannya
- Pengertian wasiat semua hampir sama bahwa wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang sebelum meninggal yang mana pelaksanaannya setelah pewasiat meninggal dunia.
- Dan pewarisan adalah proses peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup.
- Sedangkan harta warisan merupakan harta yang ditinggalkan oleh orang tua, baik itu harta pusaka ataupun harta bersama, yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
- Ahli waris adalah orang yang mempunyai pertalian kekerabatan sedarah dan karena pernikahan yang masih hidup setelah pewaris meninggal dunia.
a. Dalam Islam wasiat hanya diperuntukan bagi mereka yang di luar ahli waris, walaupun dalam KHI diperbolehkan dengan syarat wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli,[ Pemerintah RI. (2013). Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusindo Mandiri. hlm. 73.] dan pewasiat tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga dari hartanya.
Berbeda dengan Kristen/Katolik, wasiat dalam Kristen/Katolik adalah sesuatu yang mutlak tergantung keinginan sang pewasiat, karena dalam Kristen/Katolik “Surat wasiat yang telah disahkan, sekalipun ia dari manusia, tidak dapat dibatalkan atau ditambah oleh seorangpun”. [Pemerintah RI. (1974). Alkitab Terjemahan Baru. Djakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. hlm. 11.]
Sedangkan dalam Hindu dan Budha tidak dijumpai landasan hukum tentang wasiat.
b. Pewarisan dalam Islam dan Hindu hanya bisa dilakukan setelah orang tua meninggal, sedangkan dalam Kristen/Katolik bisa dilakukan oleh orang tua ketika masih hidup, dengan alasan agar tidak terjadi sengketa waris pada ahli waris.
c. Harta warisan dalam Islam, Kristen/Katolik meliputi semua harta yang ditinggalkan orang yang meninggal, sedangkan dalam Hindu, harta warisan terbagi menjadi dua bagian harta pusaka yang tidak boleh dibagi-bagi (hanya untu anak purusa), dan harta due tengah (bukan harta turun temurun dari leluhur). Harta yang bisa dibagi oleh para ahli waris.
d. Kemudian pembagian harta warisan dalam Islam, baik anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama mempunyai hak waris, sedangkan dalam Kristen/Katolik anak perempuan tidak berhak mendapatkan warisan jika ada anak laki-laki. Adapun dalam Hindu harta pusaka hanya untuk anak laki-laki purusa dan anak perempuan yang belum kawin, maka hanya mendapat dua pertiga dari harta due tengah bersama anak laki-laki bukan purusa dan mempunyai hak menikmati saja, sedangkan anak perempuan yang kawin, maka dia hidup di bawah perlindungan keluarga suaminya.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdullah At-Tuwaijiri, MI. (2014). Ensiklopedia Islam Al-Kamil. Jakarta: Darus Sunnah Pres.
- Al-Khalafi, AAK. (2010). Al-Wajiz. Jakarta Timur: Pustaka As-Sunnaah.
- Al-Maqdisi, SAA. (2015). Umdatul Ahkam. Sukoharjo: Al-Aqwam.
- Al-Asqalani, AH. (2013). Syarah Ringkas Bulughul Maram. Kitab: Jual Beli. Bab: Faraidh. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.
- Al-Útsaimin, MS. (2015). Panduan Praktis Hukum Waris. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
- As-Sayyid Salim, AMK. (2007). Shahih Fikih Sunnah, jilid 3, Jakarta: Pustaka Azzam.
- Bassam, AA. (2013). Fikih Hadits Bukhari[1]Muslim. Jakarta: Aqwam.
- Cahaya Qur’an. (2014). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama Jakarta.
- Kusuka, HH. (1991). Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
- Mulyadi. (2011). Hukum Waris dengan Adanya Surat Wasiat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
- Nengah Budawati, N. dkk. (2012). Payung Adat untuk Keluarga Bali. Denpasar: LBH APIK Bali.
- Regio Jawa dan Tim Temu Kanonis. (2005). Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.
- Pemerintah RI. (1974). Alkitab Terjemahan Baru. Djakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
- Pemerintah RI. (2013). Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusindo Mandiri.
- Penetapan Presiden RI. Nomor 1/PNPS Tahun 1965
- Pudja, G. dan Sudharta, Tjokorda Rai. (1973). Manava Darmasastra. Surabaya: Pramita.
- Sarwat, A. (2013). Kitab Hukum Waris. Jakarta: Yayasan Masjidillah Indonesia.
- Setyaawati, N.K. (2017). Kedudukan Perempuan Hindu Menurut Hukum Waris Adat Bali Dalam Prespektif Kesetaraan Gender. Jurnal Penelitian Agama Hindu. Bali. Institut Hindu Dharma Negri Denpasar. 1(02), 618.
- Sudiatmaka, K. (2016). Realisasi Keputusan Pesamun Agung III MUDP Bali No.01/Kep/Psm-3 MDP bali/x/2010 Terkait dengan Anak Perempuan Termasuk Berhak Mewarisi. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. Singaraja: Undiksha. 5(01), 773.
- alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Surat %20Wasiat. (diakses pada 5 juli 2018. Pukul: 10. 29). https://wol.jw.org/it/wol/d/r25/lp-in/120000 2171/ Pemahaman Alkitab. Jilid 2p. 1141.
- http://novitasuslapa.blogspot.com/2016/03/hukum-waris-menurut-kristen.html.