Problematika Hukum
Problema paling mendasar dari hukum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
Problema paling mendasar dari hukum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
- Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang banyak sangat dibutuhkan.
- Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan aparatur penegak hukum.
- Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap adil.
- Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.
- Kurang diperhatikannya
kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman aparatur. Bila
aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan
tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa
Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu dilakukan agar bangsa dan
rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan apa yang
dijanjikan dalam hukum.
Penegakan
Hukum
Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat)
apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal
kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia
harus dikelola berdasarkan hukum.
Ketika memilih bentuk negara hukum,
otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus sedapat mungkin berada
dalam koridor hukum. Semua harus diselenggarakan secara teratur (in order) dan
setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan.
Penegakkan hukum, dengan demikian,
adalah suatu kemestian dalam suatu negara hukum. Penegakan hukum adalah juga
ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara
maju di dunia biasanya ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga
penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Friedmann berpendapat bahwa
efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
- Substansi hokum yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama.
- Aparat Penegak Hukum agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum.
- Budaya Hukum yaitu budaya
hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang tidak berpegang pada
pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk
dipatuhi demi terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan saling
menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.
Pendapat tersebut bisa jadi benar
kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi saja. Namun sesungguhnya
penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah luas. Hukum tidak
semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan
kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun
sebagai petugas.
Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai
kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of
law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law).
Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan,
namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak
kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang
kondusif untuk penegakan hukum.
Contoh paling aktual adalah tentang
Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya. Peraturan ini secara normatif sangat baik
karena perhatian yang begitu besar terhadap kesehatan masyarakat. Namun, apakah
telah berjalan efektif? Ternyata belum. Karena, fasilitas yang minim, juga
aparat penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh yang baik. Sama halnya
dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-tempat publik
adalah suatu budaya yang agak sulit diberantas.
Oleh karenanya, penegakan hukum
menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat. Juga, hadirnya fasilitas
penegakan hukum yang optimal adalah suatu kemestian. Misalnya, perda kawasan
bebas rokok harus didukung dengan memperbanyak tanda-tanda larangan merokok,
atau menyediakan ruangan khusus perokok, ataupun memasang alarm di ruangan yang
sensitif dengan asap.
Masyarakatpun harus senantiasa
mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka, program
penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus
digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara
untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal
yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya.