Dari kejauhan,
deretan perbukitan dan hamparan sawah di kaki-kakinya menjadi suatu pemandangan
yang membuat mata tak ingin untuk berkedip. Tampak dari jauh parit-parit
berkelok-berkelok menambah indah dan menjadi kesan yang unik. Suara burung yang
berkicauan dan teriakan binatang liar di hutan yang berada dibukit menjadi
suara indah berpadu dengan sejuknya hawa di sekitar tempat tersebut.
Sekali-sekali terlihat burung-burung pipit beterbangan karena di usir oleh
petani. Jalan-jalan aspal juga menjadi pelangkap dalam keindahan pemandangan.
Jalan raya tersebut menjadikan akses ke daerah itu mudah untuk didatangi. Bagi
yang ingin merefreskan pikiran dan untuk berelaksasi, tempat itulah jawabannya.
Sompak, itulah
nama sebuah tempat yang mempunyai pemandangan indah itu. Sompak adalah sebuah
kecamatan yang baru mekar tiga tahun
silam yang terletak di Kabupaten Landak .Jarak antara Sompak dengan kota
Pontianak dapat di tempuh sekitar empat jam. Wilayahnya di kepung oleh
bukit-bukit yang rata-rata 40 m di bawah
permukaan laut. Hal tersebut membuat sinyal telepon seluler susah untuk
diterima. Sompak dihuni 98% suku dayak dengan sub suku adalah adalah dayak “ahe”. Sebagaian besar mata
pencahariannya adalah bertani dan berkebun terutama berkebun karet. “hari-hari saya pergi menoreh dari jam 04.00
sampai jam 09.00 pagi” tukas Toton (5/03/2011).
Masuknya
perkebunan sawit menjadikan pemandangan di sompak menjadi kurang indah, tidak
lagi ada pohon-pohon besar, tidak tampak lagi binatang liar yang sering
terlihat, tidak terdengar lagi kicauan burung serta ademnya udara kurang
dirasakan lagi. “ burung-burung sekarang
susah ditemui, kalau dulu banyak yang masuk jerat kami, ungkap hendrik
(17/10/2011). Bukit-bukit yang ada menjadi lahan perkebunan sawit yang tampak hanyalah
pohon-pohon sawit yang berumur setahun. Sungai-sungai yang ada menjadi kering
sehingga sulit untuk mencari ikan. “ sekarang kami jarang ngaca lagi, soalnya
airnya dangkal dan keruh bekas aliran air dari kebun sawit”. Ujar Elat.
Perubahan yang
terjadi membuat kondisi yang dahulu terasa nyaman menjadi lebih susah. “
sekarang susah mencari rotan karena hutan udah habis jadi saya beralih
pekerjaan menjadi buruh sawit walupun hasilnya tidak seberapa yang penting bisa
makan” kata Asom sambil mengerutkan dahi. Akan tetapi masih ada warga yang
tetap mempertahankan tanah unutk berkebun karet meski tanahnya, akan dibeli
dengan harga tinggi, seperti yang di ungkapkan Toton “ saya masih noreh sampai
sekarang, saya tidak mau jual tanah saya karena sayang karet-karet yang masih berproduksi secara maksimal. Kalau
saya jual tanah saya, bagaimana saya mau cari makan dan saya rasa hasil dari
karet lebih besar dari gaji dari sawit”.