Oleh
Gadis Kurnia Kusuma
Merasa panik jika tidak memegang telepon genggam dalam waktu tertentu? Lebih memilih ketinggalan dompet dari pada telepon selular? Lebih banyak menghabiskan waktu menatap layar handphone dibandingkan dengan menatap lawan bicara? Jika ya, maka hati-hati, Anda mungkin mengidap gejala nomophobia.
Bagi pengguna gadget, istilah nomophobia
mungkin sudah tidak asing lagi. Ketakutan akan jauh dari telepon genggam yang
merupakan kependekan dari no-mobile-phone
phobia ini pertama kali teridentifikasi pada 2008. Seiring dengan kemajuan
teknologi, fenomena nomophobia pun semakin sering kita temukan dalam kehidupan
sehari-hari, terutama di kalangan anak muda.
Contohnya Ardita Mustafa (26). Penulis di salah
satu media cetak ini mengaku tidak bisa lepas dari telepon genggamnya. Perasaan
panik dan tidak tenang akan menghinggapinya setiap kali dia tidak memegang gadget andalannya itu. Alasannya,
telepon genggam adalah senjatanya untuk menghabiskan waktu dan tetap terkoneksi
dengan dunia luar.
“Kalau handphone
saya mati, saya akan meminta orang lain di sekitar saya untuk bertukar sim card hanya untuk sekadar mengecek
email atau akun media sosial,” katanya.
Ardita mengaku saat ini memiliki sekitar enam
akun jejaring sosial yang aktif, yakni Twitter, Path, Instagram, Tumblr,
Linkedin, dan Foursquare. Dalam sehari, paling tidak dia biasa mengecek akun
media sosialnya setiap 15 menit sekali. Dalam kurun waktu tersebut, dia
menghabiskan sekitar 10 menit untuk memindai aktivitas jejaring sosialnya
setiap kali login. Artinya, setiap 15
menit yang dihabiskan, Ardita hanya mengalokasikan lima menit diantaranya untuk
benar-benar berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata.
Menurut dia, kecanduannya akan jejaring sosial
ini lah yang membuatnya tidak bisa lepas dari telepon genggam walau hanya
beberapa detik. Jika tidak mengecek akun media sosial nya lebih dari 20 menit,
Ardita merasa gelisah karena takut melewatkan informasi atau sekadar aktivitas
yang terjadi di dunia maya.
“Kadang tidur saya sampai tidak teratur, karena
saya takut melewatkan berita atau sekadar peristiwa yang sedang terjadi di
jejaring sosial,” jelasnya.
Fenomena nomophobia memang tidak bisa
dilepaskan dari ledakan tren jejaring sosial yang kian menjamur dalam beberapa
tahun terakhir. Kecanduan akan media sosial yang memicu sindrom FoMO (fear of missing out) ini lah yang
akhirnya mendorong pengidap nomophobia terus bertambah dalam beberapa tahun
terakhir.
Indonesia sendiri merupakan salah satu pengguna
jejaring sosial yang paling aktif di dunia. Menurut data lembaga PeerReach,
Indonesia menempati peringkat ke 3 pengguna Twitter terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang pada 2014. PeerReach mencatat porsi pengguna Twitter
di Indonesia tahun ini mencapai 6,5% dari seluruh pengguna Twitter di dunia dengan 2,4% dari total tweet di dunia
disumbangkan oleh Jakarta.
Tak hanya Twitter, Indonesia juga tercatat sebagai negara asal pengguna
Path terbanyak di dunia. Dalam
wawancara dengan Bloomberg
Businessweek Indonesia pada November 2013,
pendiri sekaligus CEO Path Dave Morin mengatakan dari 20 juta pengguna aktif Path di dunia, sebanyak 4 juta pengguna atau 20% diantaranya merupakan anggota teraktif dari Indonesia.
Pengamat media sosial Abang Edwin Syarif Agustin
menilai salah satu alasan banyaknya pengguna jejaring sosial adalah distribusi
informasi yang lebih cepat dan lebih mudah. Jejaring sosial mengubah cara
berkomunikasi antara media massa dengan penggunanya menjadi lebih efektif.
Artinya, orang tidak perlu lagi harus membaca koran atau situs berita untuk
mengetahui peristiwa yang sedang terjadi.
“Yang perlu diwaspadai dari jejaring sosial
salah satunya adalah kontrol informasi, karena saking cepatnya informasi yang
masuk terkadang pengguna langsung menyebarkan informasi itu tanpa mengecek dulu
kebenarannya,” paparnya. “Padahal informasi yang kita dapat di jejaring sosial
sudah tidak dapat lagi dijadikan acuan.”
Dalam riset itu juga disebutkan bahwa pengidap
nomophobia terbanyak berada dalam kategori responden dengan rentang usia 18-24
tahun (77%) dan disusul oleh responden
berusia 25-34 tahun (68%).
“Dalam riset sebelumnya yang kami lakukan empat
tahun lalu [2008], hanya ditemukan 55% responden yang mengaku takut hidup tanpa
telepon genggam. Jumlah ini meningkat menjadi 66% dalam studi terbaru kami
[2012],” terang CTO SecurEnvoy Andy Kemshall kala itu. “Dalam studi lainnya
juga ditemukan bahwa secara rata-rata, setiap orang mengecek telepon genggamnya
34 kali dalam sehari.”
Psikolog Anna Surti Ariani berpendapat pecandu jejaring
sosial kerap memiliki penghayatan emosional yang kurang dan akibatnya tidak mendapatkan kebahagiaan
dalam hidup yang sebenarnya. Pecandu jejaring sosial yang juga mengidap
nomophobia, lanjutnya juga sering kali menjadi tidak fokus dalam percakapan dan
interaksi sosial yang sedang berlangsung di dunia nyata.
Salah satu indikasi seseorang mengidap
nomophobia, katanya adalah mereka sering berhalusinasi akan adanya notifikasi
jejaring sosial di telepon genggam. Akibatnya, mereka sering sekali
menghabiskan waktu mengecek layar ponsel.
“Individu yang memiliki nomophobia dan
kecanduan jejaring sosial akan sulit fokus dalam percakapan langsung, karena
konsentrasinya terbagi antara mendengarkan lawan bicara dan mengecek akun
pribadinya. Lama kelamaan dia akan terasing dari lingkungnnya sendiri,”
jelasnya.
Menurut Anna, langkah awal untuk bisa bebas
dari sindrom nomophobia dan kecanduan akan jejaring sosial harus dimulai dari
kesadaran sang individu sendiri. Salah satu cara yang paling mudah adalah
dengan mematikan notifikasi jejaring sosial di telepon genggamnya. Dengan
demikian, godaan untuk mengecek layar handphone
setiap saat pun menjadi berkurang.
Di era digital
seperti sekarang memang sulit membayangkan untuk hidup tanpa telepon genggam.
Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin. Toh,
berpuluh-puluh tahun yang lalu manusia masih bisa berkomunikasi tanpa gadget canggih dan Twitter. Bahkan
mungkin kehidupan sosial mereka lebih sehat karena tidak terhalang oleh layar handphone setiap saat.
Jadi, siap mencoba sehari saja hidup tanpa
ponsel?